Channel9.id-Jakarta. Kondisi ekonomi tahun 2022 memiliki situasi ketidakpastian yang masih sangat tinggi. Tahun 2022 mendatang disinyalir motif politik untuk menuju 2024 semakin panas dan tentu hal ini akan mempengaruhi kondisi perekonomian nasional di tahun depan tersebut. Belum lagi, Undang-Undang Cipta Kerja yang sebelumnya menghadirkan optimisme cukup besar dalam mempercepat tumbuhnya investasi menjadi kembali dipertanyakan pasca Mahkamah Konstitusi menyebutnya inkonstitusional bersyarat.
Hal itu terungkap dalam webinar lembaga riset Sigmaphi yang menyampaikan proyeksi ekonomi dan politik yang akan terjadi tahun 2022 mendatang dengan dengan tema “Year of The Tiger, Riding The Tiger”, pada Rabu 22 Desember 2021.
Dalam proyeksinya peneliti senior Sigmaphi, Telisa Falianty menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 3,49% hingga akhir tahun 2021 ini dan meningkat menjadi 4,90% pada tahun 2022 mendatang.
Baca juga: Menkeu: Penerimaan Negara Meningkat Sejalan Dengan Perbaikan Ekonomi
Telisa memaparkan, pertumbuhan tahun 2022 mendatang ditopang oleh investasi yang akan tumbuh sebesar 5,94%, dan konsumsi masyarakat yang tumbuh 4,97%, sedangkan ekspor bersih justru tumbuh minus 0,61% seiring dengan normalisasi harga komoditas yang diperkirakan akan terjadi pada pertengahan tahun depan.
Telisa juga menyampaikan bahwa Indonesia dapat tumbuh lebih tinggi apabila memberikan perhatian lebih besar pada pelaku UMKM. Simulasi yang dilakukan Sigmaphi bahwa dengan mendorong 10% saja pelaku UMKM naik kelas, maka ekonomi dapat tumbuh 6,7%.
“Salah satu strateginya yakni dengan mendorong penyaluran kredit lebih besar kepada sektor UMKM, dan untuk melakukan ini perbankan masih punya ruang yang lebar mengingat saat ini LDR perbankan baru sebesar 79,11%,”ujarnya.
“Sehingga, apabila ruang tersebut digunakan untuk meningkatkan kapasitas UMKM kita, maka dampaknya sangat besar, tidak saja terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi juga terhadap penyerapan tenaga kerja,”sambung Telisa.
Sementara itu, Asisten Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung mengatakan bahwa likuiditas di perbankan saat ini masih ample, sehingga apabila permintaan kredit meningkat, maka perbankan tentu juga akan mendorong kredit yang akan disalurkannya.