Lifestyle & Sport

Sokola Institute: Pendidikan Kontekstual untuk Masyarakat Adat

Channel9.id-Jakarta. Peluncuran buku “Melawan Setan Bermata Runcing” dibarengi dengan diskusi mengenai pendidikan masyarakat adat. Acara ini digelar di Kampus IPMI di hari Rabu, 30 Oktober 2019 dan diadakan oleh Sokola Institute, merupakan organisasi yang fokus pada isu pendidikan masyarakat adat di Indonesia.

Buku terbitan Sokola Institute ini digarap oleh kelima pendirinya, yakni Saur Marlina “Butet” Manurung, Aditya Dipta Anindita, Dodi Rokhdian, serta Fadilla M. Apristawijaya, dan Fawaz Albatawy.

Buku ini menceritakan tentang pengalaman masing-masing penulis saat di Sokola. Salah satunya, Butet Manurung. Ia khawatir ketika salah seorang anak Rimba bahagia dianggap orang Jawa. Anak rimba malu disebut anak rimba. Mereka pikir mereka bodoh dan primitif. Demikian ia berkisah.

“Mengubah identitas mereka bukanlah tujuan saya,” tegas Butet. Kalau mereka belajar baca tulis di luar konteks budayanya, ia yakini, mereka akan tercerabut dari asal muasalnya.

Dari pengalaman ini, ia sadar bahwa ia harus membuat anak-anak Rimba bangga akan identitasnya. Akhirnya, ia mengubah metode mengajarnya menjadi metode pendidikan kontekstual.

Butet melanjutkan, ia berharap, dengan metode ini masyarakat adat bisa tetap dan sanggup hadapi tantangan hidup di era ini. Pun agar mereka sadar akan hak-haknya.

Sedangkan, Fawwaz Albatawy pun punya kisah lain. Ia bercerita tentang pengalamannya ketika mengajar di kaki gunung. Sebelum mengajar, ia terlebih dulu mengidentifikasi permasalahan masyarakat ini. Rupanya, petani kopi kerap kali ditipu.

“Tengkulak ngasih bantuan pupuk satu karung seharga 20 ribu. Petani mesti ganti. Gantinya nanti kalau petani udah musim panen. Nanti petani ngasih sekarung kopi ke tengkulak satu karung, yang harganya bisa 600 ribu,” tutur Fawwaz.

Dari sini, kemudian literasi terapan ia susun secara kontekstual. Sehingga masyarakat ini paham hitung-hitungan, seperti perkalian, pembagian, dan penjumlahan. Akhirnya, masyarakat sadar bahwa mereka butuh pendidikan yang seperti ini, yang kontekstual. “Jadi, mereka lalu ngerti ditipunya bagaimana,” ujar Fawwaz.

Fawwaz pun menegaskan, metode pendidikan yang mereka usungkan yakni pendidikan kontestual. Tujuannya agar mereka tak mudah ditipu, pun tidak meninggalkan identitas mereka.

(LH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9  +  1  =