Stok beras
Ekbis

Stok Tertinggi Sepanjang Sejarah, Kenapa Harga Beras Masih Naik?

Channel9.id, Jakarta — Produksi beras nasional diklaim naik 14% per Juli 2025, dengan stok mencapai 4,2 juta ton, jumlah tertinggi sepanjang sejarah. Namun, ironisnya, harga beras di pasar justru terus merangkak naik, bahkan menembus Rp20.000 per kilogram di sejumlah daerah.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyampaikan kabar surplus tersebut usai mengikuti Rapat Terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (30/7/2025). Ia menegaskan ketahanan pangan nasional berada dalam posisi “sangat aman” berkat cadangan beras yang diproyeksikan mencapai 2,5–3 juta ton di akhir tahun.

“Stok kita tertinggi selama ini. Insyaallah produksi kita cukup baik tahun ini,” ujar Amran, seraya menyebut langkah pemerintah memperbaiki irigasi dan mencetak sawah baru di sejumlah daerah seperti Merauke, Kalimantan, dan Sumatra Selatan.

Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan realitas di lapangan tidak seindah klaim tersebut. Pada pekan pertama Agustus 2025, harga rata-rata beras medium dan premium di zona I (Jawa, Lampung, Sumsel, Bali, NTB, Sulawesi) sudah berada di kisaran Rp14.731 per kilogram, naik 1,07% dibandingkan bulan sebelumnya. Di zona II (Aceh, Sumatra Utara, Kalimantan, NTT), harga menembus Rp15.744 per kilogram atau naik 1,25%. Bahkan di zona III (Maluku–Papua), rata-rata harga mencapai Rp20.068 per kilogram, dengan rekor tertinggi Rp54.772 di Kabupaten Intan Jaya.

BPS mencatat, kenaikan harga beras terjadi di 191 kabupaten/kota pada awal Agustus. Peringatan ini datang bersamaan dengan melonjaknya harga bawang merah yang juga menjadi penyumbang utama inflasi di banyak wilayah.

Kondisi ini memunculkan tanda tanya publik: mengapa di tengah surplus produksi dan stok melimpah, harga beras tetap melesat? Sejumlah pengamat menilai, masalah bisa terletak pada distribusi, rantai pasok, hingga tata kelola cadangan beras yang belum efektif menekan harga di tingkat konsumen.

Menurut pengamat pertanian Khudori, fenomena ini bukanlah anomali, melainkan konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang tumpang tindih dan gagal mengatur pasar. Ia menilai, kebijakan perberasan sejak Januari 2025 justru memperburuk kondisi harga.

“Saya melihatnya tidak ada anomali. Sebetulnya sangat jelas penyebabnya. Apa yang terjadi hari ini adalah dampak dari kebijakan perberasan yang dibuat pemerintah sejak Januari lalu. Kebijakannya buruk,” kata Khudori dalam diskusi Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Senin (14/7/2025).

Ia merujuk pada Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional No 2/2025 yang menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen dari Rp6.000 menjadi Rp6.500 per kilogram. Namun, penyesuaian ini tidak diikuti kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras medium dan premium, sehingga mendorong harga di pasar terus naik.

Khudori juga menyoroti Instruksi Presiden No 6/2025 yang mewajibkan Bulog dan pihak swasta membeli beras dari petani tanpa mempertimbangkan mutu. Akibatnya, banyak petani melakukan panen dini dan menjual gabah berkualitas rendah dengan kadar air tinggi.

“Terus terang, petani sangat diuntungkan dengan kewajiban ini. Tapi ini kebijakan yang tidak mendidik, yang membuka perilaku culas, moral hazard,” ujarnya.

Situasi diperburuk oleh penghentian sementara penyaluran bantuan pangan dan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sejak Februari 2025. Padahal, kebijakan ini sebelumnya sudah disepakati dalam rapat terbatas bersama Presiden pada November 2024. Dampaknya, pasar kehilangan suplai beras dari pemerintah, sementara surplus produksi justru lebih banyak diserap Bulog tanpa segera dilepas ke pasar.

Akibatnya, meski stok nasional mencetak rekor tertinggi, harga beras terus menanjak melampaui HET. Khudori menekankan, tugas pemerintah bukan sekadar menjaga ketersediaan, tetapi juga memastikan harga tetap terkendali. Ia memperingatkan, ratusan ribu penggilingan dan pedagang beras swasta kini semakin terjepit. Dari total produksi 18,76 juta ton pada Januari–Juni 2025, mereka hanya menguasai sekitar 600 ribu ton.

“Kalau mereka menambah stok dengan membeli gabah di harga Rp7.000–8.000, pasti melampaui HET. Kalau menjual di atas HET, digaruk Satgas Pangan. Kalau menjual sesuai HET, berpotensi rugi,” kata Khudori.

Dengan pasokan pedagang swasta yang kini hanya sepertiga dari kondisi ideal, pasar semakin kehilangan keseimbangan. “Data BPS awal tahun ini menunjukkan bahwa beras sudah menjadi penyumbang inflasi,” tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

56  +    =  65