Channel9.id, Jakarta — Pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan serius terkait ancaman kebijakan tarif tambahan 10% dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap negara-negara anggota BRICS, termasuk Indonesia. Dalam menghadapi situasi ini, dunia usaha dan pemerintah didorong untuk tidak hanya bersikap reaktif, tetapi proaktif merumuskan strategi jangka pendek dan panjang.
Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin Indonesia, Saleh Husin, menekankan pentingnya respons diplomatik yang cermat guna meredam potensi dampak negatif terhadap ekspor nasional. Menurutnya, peningkatan komunikasi dengan otoritas perdagangan AS, baik melalui jalur bilateral maupun forum multilateral, perlu segera diintensifkan.
“Ancaman tarif 10% ini berisiko menurunkan daya saing produk ekspor Indonesia, terutama sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur. Indonesia harus cerdas bermanuver secara diplomatik, tanpa mengorbankan hubungan strategis dengan mitra dagang utama di luar BRICS,” ujarnya, Selasa (8/7/2025).
Selain jalur diplomasi langsung, Saleh juga menilai pentingnya memanfaatkan posisi Indonesia di BRICS untuk mengadvokasi kepentingan bersama, terutama dalam menghadapi tekanan proteksionisme global. Namun, ia mengingatkan agar posisi Indonesia tidak terseret dalam polarisasi geopolitik yang justru mempersempit ruang gerak diplomasi.
Di sisi lain, kalangan pengusaha telah mulai menyusun langkah konkret untuk menghadapi skenario terburuk. Selain mengidentifikasi produk ekspor yang paling rentan terdampak, pelaku usaha juga mempercepat langkah diversifikasi pasar, termasuk memperluas penetrasi ke pasar non-tradisional di Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Latin.
“Kita tengah merancang strategi reorientasi pasar ekspor dan meningkatkan efisiensi biaya produksi agar tetap kompetitif meski dibebani tarif tambahan. Ini momentum memperkuat struktur logistik dan rantai pasok nasional, termasuk melalui digitalisasi,” jelas Saleh, yang juga menjabat Menteri Perindustrian periode 2014–2016.
Menurutnya, penguatan jalur negosiasi pemerintah-ke-pemerintah (G-to-G) dan bisnis-ke-bisnis (B-to-B) juga menjadi krusial dalam membuka akses pasar alternatif di tengah tekanan politik dagang dari AS.
Meski kajian mendalam masih dibutuhkan, Saleh memperkirakan dampak tarif Trump akan cukup signifikan bagi perekonomian Indonesia. Selain penurunan permintaan dari AS, risiko order shifting ke negara non-BRICS serta tekanan terhadap nilai tukar dan pasar modal juga perlu diwaspadai.
“Kondisi geopolitik yang makin terfragmentasi membuat konsolidasi kebijakan luar negeri dan perdagangan jadi semakin kompleks. Bahkan, jika terjadi aksi balasan dari negara BRICS, dunia bisa kembali terjebak dalam siklus perang dagang global,” ujarnya mengakhiri.
Dengan kompleksitas tantangan yang ada, para pelaku usaha berharap pemerintah tidak hanya bersikap defensif, tetapi mengambil peran aktif dalam membentuk arsitektur perdagangan global yang lebih adil dan adaptif, sejalan dengan kepentingan nasional jangka panjang.