Oleh: Reno Koconegoro*
Channel9.id-Jakarta. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan bagi seluruh kelas (kelas 1 hingga 3) per 1 Januari 2020 mendatang. Kenaikan iuran tersebut, menurut pemerintah tidak mungkin lagi untuk dihindari mengingat defisit BPJS Kesehatan telah berjalan selama beberapa tahun. Menyoal mengenai defisit BPJS Kesehatan dan kenaikan iuran tersebut, Menteri Keuangan menyatakan bahwa di satu sisi, manfaat yang didapat oleh peserta iuran terlalu banyak, namun di sisi lain besaran iuran para peserta masih terlalu kecil. Kondisi itulah yang kemudian menjadi salah satu penyebab mengapa BPJS Kesehatan terus mengalami defisit.
Anehnya, ketika pemerintah sedang kesulitan mengatasi defisit BPJS Kesehatan, di saat yang sama pemerintah justru mempertahankan subsidi pajak atas bunga surat berharga negara (SBN) global yang dikuasai oleh investor asing. Belanja Subsidi PPh-DTP pada Tahun Anggaran 2018 tercatat sebesar Rp 10,1 triliun atau masih lebih besar dibandingkan dengan angka defisit BPJS Kesehatan pada 2018 yang sebesar Rp 9,1 triliun.
Langkah pemerintah yang memberikan subsidi pajak atas bunga SBN Global ini pun, ternyata tidak mampu membuat SBN global kita dapat bersaing dengan negara-negara peer seperti Filipina dan India. Per 30 Agustus 2019, yield obligasi pemerintah Indonesia dengan jangka waktu 10 tahun masih sebesar 7,35 persen per tahun, sementara India sebesar 6,56 persen dan Filipina 4,43 persen. Padahal negara ini memiliki peringkat kredit (credit rating) yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Dibandingkan dengan India, peringkat kredit Indonesia tercatat masih lebih baik. Sehingga, suku bunga obligasi Indonesia yang mustinya lebih rendah dari India.
Tidak berhenti di situ, Filipina dan India ternyata tidak memberikan subsidi pajak atas bunga obligasi global. Kedua negara tersebut malah mengenakan pajak atas bunga obligasi global pemerintah masing-masing sebesar 20 persen atau 30 persen untuk Filipina dan 5 persen atau 20 persen untuk India.
Sebagai catatan, total dana subsidi pajak penghasilan (PPh) atas bunga obligasi global pemerintah telah mencapai Rp70 triliun sejak kebijakan subsidi ini berlaku pada 2009 hingga 2019. Pada 2017 dan 2018, dana subsidi tersebut masing-masing sebesar Rp 8,93 triliun dan Rp 10,11 triliun. Pada 2017, dana subsidi untuk investor portofolio asing ini malah menjadi yang terbesar kedua dari total subsidi yang ditanggung pemerintah (DTP) tahun 2017, dan lebih besar dari dana untuk kredit program (Kredit Usaha Rakyat, dll.) tahun 2017 yang sebesar Rp 3,17 triliun. Sementara pada tahun 2018, subsidi PPh atas bunga global bond pemerintah menjadi terbesar ketiga dari total subsidi yang ditanggung pemerintah, sedikit di bawah dana kredit program (Kredit Usaha Rakyat, dll.) tahun 2018 yang sebesar Rp 11,59 triliun.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan pos anggaran untuk kesejahteraan masyarakat, subsidi pajak untuk para investor global tersebut ternyata lebih besar dibandingkan dengan anggaran Program Indonesia Pintar (Rp 8,9 triliun pada Anggaran 2017 dan 2018), dan anggaran Otonomi Khusus Provinsi Aceh (Rp 8 triliun masing-masing di 2017 dan 2018), dana Otonomi Khusus Papua (Rp 5,6 triliun masing-masing pada 2017 dan 2018) dan Papua Barat (Rp2,4 triliun masing-masing pada 2017 dan 2018).
Atas paradoks-paradoks yang ada di dalam struktur anggaran kita saat ini, Presiden Joko Widodo sebetulnya telah memerintahkan agar APBN ke depan harus lebih fokus dan tepat sasaran. Artinya, APBN selanjutnya (khususnya APBN 2020) musti sejalan dengan amanat dari konstitusi, yaitu untuk sebesar-besaranya kemakmuran rakyat. Daripada memberikan subsidi bagi kaum the have atau orang-orang kaya asing pemilik obligasi pemerintah, sebaiknya anggaran yang ada digunakan seluas-seluasnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI musti segera menghentikan alokasi subsidi tersebut pada APBN 2020 mendatang. Lebih baik dana yang besar itu, dimanfaatkan untuk alokasi anggaran kesehatan rakyat sesuai dengan pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga kenaikan iuran bagi peserta BPJS Kesehatan yang akan berjalan per 1 Januari 2020 nanti, tidak perlu untuk dilakukan.
Analis Sigma Phi*