Nasional

Tahun Politik 2022, Masyarakat Harus Berpikir Kritis Hadapi Narasi Politikus

Channel9.id – Jakarta. Indonesia akan memasuki tahun politik mulai Februari 2022. Tahun itu, narasi para politikus akan begitu dominan menghiasi ruang digital.

Sayangnya, narasi dengan tujuan politik itu kerap tidak mengindahkan tata krama dan kesantuan berbahasa bangsa Indonesia.

Managing Direkctor Indoplus Coummunication Edy Budiyarso menyampaikan, masyarakat perlu menghadapi hal itu dengan berpikir kritis dan penuh dengan kearifan.

“Terutama dalam menerima narasi-narasi yang kerap memprovokasi, mengaduk-aduk emosi, dan membuat ketegangan psikologi yang sengaja diciptakan,” kata Edy dalam Webinar ‘Mari Berbahasa yang Benar dan Beretika di Ruang Digital’ yang digelar Siberkreasi.

Baca juga: Netizen Indonesia Perlu Paham Etika Bermedsos

“Kita harus punya kompetensi dan sangat kritis terhadap narasi-narasi ini, karena akan sangat membahayakan,” lanjutnya.

Selain agenda yang bersifat tahunan itu, masyarakat juga perlu waspada terhadap aktivitas kelompok tertentu yang ingin memecah belah bangsa. Misalnya, aktivitas cyberterrorism yang memprovokasi alam pikir untuk menjadi sangat pembenci dan sangat memuja kelompok tertentu.

Mereka sengaja melempar kata-kata, diksi, dan narasi di ruang digital untuk melakukan dominasi dan hegemoni terhadap kita.

“Kalau teman-teman perhatikan, biasanya ada orang bawa istilah thogut, mudah mengkafirkan. Nah ini harus hati-hati karena ini adalah diksi-diksi yang dipakai oleh kelompok-kelompok tertentu,” kata Edy.

Untuk membentengi diri terhadap provokasi-provokasi itu, menurut Edy, masyarakat harus memegang teguh nilai-nilai kearifan budaya bangsa Indonesia yang terkandung dalam bahasa nasional. Nilai-nilai yang positif itu juga bisa disebarkan di ruang digital terutama di media sosial.

Edy juga menyarankan supaya masyarakat memasifkan penggunaan bahasa lokal atau daerah yang menyumbang kearifan bahasa nasional sebagai produk budaya, di ruang digital. Sebab, menurut Edy, ruang digital seharusnya tidak menguras nilai-nilai jati diri atau karakter bangsa.

“Kita lihat ada keuntungannya, misalnya konten-konten di media sosial yang sifatnya lokal tapi banyak penggemarnya. Itu kan artinya ada kerinduan terhadap bahasa lokal. Ini lah cyberculture dari keanegaragaman bangsa ini harus kita isi dengan konten-konten positif yang memiliki akar kehidupan kita sendiri,” kata Edy.

Tidak hanya itu, menyebarkan konten-konten berisi peribahasa yang mengandung etika dan kepribadian bangsa Indonesia juga perlu dilakukan di media sosial.

“Tong kosong berbunyi nyaring dan berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit sakit dahulu bersenang-senang kemudian.Yang pertama maknanya soal kepandaian omong gede ternyata mbelgedes. Kedua soal etos, dan proses kegigihan, bahwa untuk mencapai hasil terbaik harus melalui usaha dan kerja keras,” kata Edy.

“Contoh peribahasa itu menjadi pemandu kesadaran dari petuah kebaikan, kebajikan. Dengan bahasa yang baik itu laksana dikenalkan pada rambu-rambu kehidupan bahwa ada pagar yang tak bisa ditrabas,” kata Edy.

Edy memandang kearifan-kearifan itu yang harus menghiasi konten-konten media sosial kita. Supaya, masyarakat tidak kehilangan identitas dan akar peradabannya.

“Dahulu, dari luar, kita dipandang sebagai masyarakat awam sebagai bangsa yang santun, ramah, dan sopan. Tetapi riset baru-baru ini menyatakan dunia digital kita sangat tidak sopan. Karena itu, kita perlu mengubah mindset itu, mengubah perspektif dengan cara kita berbahasa yang baik dan benar, dan beretika,” kata Edy.

Edy juga mengingatkan masyarakat untuk tidak menggunakan bahasa yang tidak sopan dan tidak beretika di ruang digital. Sebab, rekam jejak digital itu tidak akan hilang. Bagi anak muda, hal itu akan berpengaruh buruk bagi karir mereka. Sebab, instansi pemerintah dan perusahaan besar akan melakukan profiling untuk melihat sifat seseorang yang ingin mendaftar kerja.

“Paulo Coelho berkata bahwa kata-kata lebih berbahaya dari pada senjata. Nah ini lah yang saya kira, kita harus hati-hati, terutama di ruang-ruang digital karena semua digital itu memiliki rekam jejak. Nah rekam jejak ini tidak akan hilang. Jadi, kita harus mencoba menggunakan cyberculture ini untuk menjadi orang yang lebih dewasa, menjadi lebih toleran, kemudian lebih adaptif, dan saya kira nantinya berguna untuk teman-teman,” pungkasnya.

HY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

84  +    =  89