Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes*
Channel9.id-Jakarta. Ta’im Maulana Habiburrahman (MMH), yang dulunya dikenal sebagai seorang marbot Masjid Mergangsan di Yogyakarta, telah resmi mengundurkan diri sebagai Utusan Khusus Presiden setelah menjadi sorotan publik dan menerima tekanan dari berbagai pihak, termasuk netizen dan petisi yang beredar luas. Pengunduran diri tersebut diumumkan pada Jumat, 6 Desember 2024, setelah perjalanan kariernya yang penuh kontroversi dan perhatian publik.
Nama asli MMH, yaitu Ta’im, sering kali memunculkan spekulasi publik tentang latar belakangnya, terutama ketika dia mengubah nama dan mulai dikenal sebagai Miftah Maulana Habiburrahman. Fenomena ini mengingatkan banyak orang pada sosok lain yang juga dikabarkan mengganti nama untuk mengubah citra masa lalu. Kendati demikian, perjalanan akademis MMH, meskipun tidak mulus, memberikan warna tersendiri. Ia diketahui pernah berkuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta namun tidak menyelesaikan studinya. Hal ini mengundang perbandingan dengan isu serupa yang melibatkan tokoh lain yang diduga menggunakan ijazah palsu. Meski demikian, MMH akhirnya melanjutkan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Universitas Islam Sultan Agung Semarang pada 2023.
Sebagai figur yang cukup populer di kalangan tertentu, MMH mendirikan Pondok Pesantren Ora Aji di Sleman, Yogyakarta, yang menjadi pusat dakwahnya. Popularitasnya menarik perhatian Presiden Prabowo Subianto, yang kemudian menunjuknya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan pada Oktober 2024. Penunjukan ini menuai kritik luas karena kapasitas dan kompetensi MMH dianggap kurang memadai oleh sebagian masyarakat. Banyak yang meramalkan bahwa pengangkatan ini berpotensi menciptakan blunder bagi pemerintah dan presiden sendiri.
Keraguan tersebut akhirnya terkonfirmasi melalui sejumlah insiden yang melibatkan MMH. Salah satu momen yang menjadi titik balik adalah kejadian di acara “Magelang Bersholawat” pada akhir November 2024. Dalam sebuah rekaman yang kemudian viral, MMH terdengar mengeluarkan ucapan yang dianggap menghina seorang penjual es teh bernama Sunhaji. Ungkapan seperti “Es tehmu sih akeh ra? Yo kono didol gblk,” menjadi pemicu kritik tajam terhadapnya. Video tersebut langsung memicu reaksi keras dari publik, terutama karena gaya komunikasi tersebut dianggap tidak pantas untuk seorang yang menjabat posisi penting di pemerintahan.
Insiden tersebut memicu gelombang investigasi oleh netizen yang menemukan jejak digital lain terkait perilaku MMH. Beberapa peristiwa masa lalu yang menyeret namanya kembali mencuat, termasuk penghinaan terhadap Yati Pesek, seorang seniwati ketoprak legendaris. Dalam sebuah pernyataan yang viral pada saat itu, MMH pernah menggunakan kata-kata yang tidak pantas untuk menyebut Yati Pesek, yang mencoreng citranya sebagai tokoh agama.
Kisah MMH ini juga memunculkan kembali diskusi tentang sosok lain yang dikenal dengan nama akun “Fufufafa” di sebuah forum daring. Jejak digital akun tersebut, yang sering kali memuat ujaran kasar, dianggap memiliki kesamaan pola dengan gaya komunikasi MMH. Meskipun dugaan keterkaitan antara keduanya belum terbukti secara langsung, banyak pihak meyakini ada kemiripan yang signifikan. Bahkan, unggahan lama dari akun “Fufufafa” pernah mencemooh Presiden Prabowo Subianto, orang yang kini menunjuk MMH sebagai Utusan Khusus. Hal ini memunculkan ironi tersendiri.
Namun, ada perbedaan mencolok dalam respons keduanya terhadap kontroversi yang mereka hadapi. MMH akhirnya memutuskan untuk mundur dari jabatannya setelah menerima tekanan besar. Ia menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan kembali fokus pada aktivitasnya sebagai seorang pendakwah. Di sisi lain, akun “Fufufafa” yang telah lama menjadi sorotan publik karena jejak digitalnya, hingga kini tidak menunjukkan itikad baik untuk mengakui atau meminta maaf atas unggahannya yang kontroversial.
Kasus ini menyisakan pertanyaan besar di benak masyarakat: mengapa MMH yang “hanya” seorang Utusan Khusus Presiden bisa menunjukkan tanggung jawab moral dengan mengundurkan diri, sementara sosok di balik akun “Fufufafa” yang diduga memiliki rekam jejak digital lebih buruk, tetap bertahan tanpa konsekuensi yang jelas? Situasi ini mengundang spekulasi bahwa keadilan dalam kasus semacam ini tampak berjalan timpang.
Bagi publik, peristiwa ini bukan hanya soal individu semata, tetapi juga mencerminkan bagaimana pejabat publik harus bertanggung jawab atas tindakan mereka, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Masyarakat berharap ada langkah konkret untuk menjaga integritas dan moralitas pejabat negara, bukan hanya dengan meminta mereka bertanggung jawab secara pribadi, tetapi juga melalui mekanisme pengawasan yang lebih ketat.
Pengunduran diri MMH bisa dianggap sebagai pelajaran penting dalam dunia politik dan pemerintahan. Ini menunjukkan bahwa tekanan publik memiliki kekuatan untuk meminta pertanggungjawaban pejabat atas perilaku mereka. Namun, kasus ini juga mengingatkan bahwa keadilan tidak boleh bersifat selektif. Mereka yang terbukti melakukan tindakan tidak pantas, baik di masa lalu maupun saat ini, harus mendapatkan konsekuensi yang setimpal, terlepas dari posisi atau status mereka. Semoga kejadian ini menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa Gusti Allah SWT tidak pernah tidur, dan kebenaran pada akhirnya akan terungkap.
*Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen