Oleh: Marah Kerma Mardame Manurung*
Channel9.id-Jakarta. Presiden Prabowo Subianto sudah menegaskan lagi komitmen menyediakan perumahan layak bagi masyarakat marginal, sebagai salah satu strategi jitu mengatasi kemiskinan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kamis (20/2/2025), juga sudah menyatakan siap menyinkronkan seluruh kebijakan dan instrumen keuangan di APBN, didukung kebijakan Bank Indonesia, untuk pelaksanaan Program 3 Juta Rumah.
Program ini sebenarnya bukan barang baru. Di era Presiden Joko Widodo, program “Satu Juta Rumah” telah berhasil membangun lebih dari 1,2 juta unit rumah dalam kurun 10 tahun. Program itu dijalankan melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Skema ini yang kembali diandalkan Presiden Prabowo untuk mencapai target yang lebih ambisius, tiga juta rumah.
Target sebesar itu tentu membawa tantangan dan ekspektasi yang lebih besar. Tak salah, bila program ini akan terus dipantau dan disorot masyarakat. Tapi, memiliki rumah memang perlu. Filosof Abraham Maslow memasukannya sebagai kebutuhan paling dasar, selain rasa aman. Ahli perumahan John Turner (1976), menyebut rumah tak sekadar bangunan fisik, tapi juga tempat seseorang berkembang, merasa aman, dan menjadi bagian dari komunitas.
Ketua Satgas Perumahan, Hashim Djojohadikusumo, menyebut program tiga juta rumah ditujukan untuk mengatasi backlog, yaitu kesenjangan jumlah rumah yang tersedia dan yang dibutuhkan masyarakat. Survei BPS (2024) menyatakan, backlog perumahan di Indonesia masih sebanyak 9,9 juta unit pada tahun 2023.
Namun, semua paham, target yang ambisius ini bukanlah tanpa tantangan. Setidaknya ada lima kendala utama yang perlu diatasi oleh pemerintah. Pertama, keterbatasan lahan. Ketersediaan lahan yang layak di perkotaan semakin terbatas dan mahal, sementara di pedesaan, masalah utama adalah akses infrastruktur.
Kedua, biaya konstruksi yang tinggi. Harga material bangunan terus meningkat, mempengaruhi anggaran pembangunan, bahkan untuk rumah sederhana sekalipun. Ketiga, keterbatasan dana. Program berskala besar ini membutuhkan pendanaan yang besar, sehingga pemerintah, tidak bisa tidak, perlu mencari sumber pendanaan alternatif di luar APBN.
Kempat, regulasi yang rumit. Proses perizinan yang berbelit dan makan waktu dapat menghambat pelaksanaan di lapangan. Sekat-sekat kepentingan yang menyulitkan saat eksekusi, harus diterabas. Kelima, kesadaran masyarakat. Tidak semua masyarakat marginal memahami pentingnya rumah layak huni, sehingga sosialisasi dan pendampingan menjadi krusial.
Pertanyaan krusial berikutnya adalah, dari mana sumber pendanaan mega proyek ini berasal? Menteri Sri Mulyani menyebut skema pembiayaan bersama Perbankan Himbara kini sedang digodok. Pemerintah juga berencana menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) Perumahan sebagai alternatif pembiayaan di luar APBN.
Bank Indonesia juga memberikan relaksasi Giro Wajib Minimum (GWM) untuk mempercepat pembangunan rumah. Tak mau kalah, Perbankan Himbara pun siap menjadi garda terdepan, sejalan dengan ambisi pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.
Sebagai bentuk keseriusan, pemerintah telah mengalokasikan dana APBN sebesar Rp40,27 triliun, termasuk anggaran Kementerian PKP sebesar Rp5,27 triliun dan pembiayaan perumahan sebesar Rp35 triliun. Investor dari negara-negara sahabat juga menyatakan minatnya, seperti Qatar (4-6 juta perumahan), Uni Emirat Arab (1 juta perumahan), Turki (50 ribu perumahan), dan Singapura (100 ribu perumahan). Teranyar, Jepang berpotensi menjadi investor.
Dengan skema cicilan Rp600 ribu per bulan selama 25 tahun dan harga Rp100 juta per unit rumah, pemerintah menargetkan pembangunan 1 juta rumah di perkotaan dan 2 juta rumah di pedesaan, dengan tipe rumah 36 seluas 70 meter persegi.
Partisipasi Industri Asuransi
Selain butuh dana besar, program ini juga butuh perlindungan asuransi yang komprehensif. Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun/ PPDP OJK (2025) menegaskan, asuransi bisa menjadi bagian penting dari program ini. Pembentukan konsorsium akan menjadi opsi terbaik buat asuransi, alih-alih dikelola secara terpisah. Yulius Bhayangkara, Ketua Dewan Asuransi Indonesia/DAI (2025), mengajak industri perasuransian proaktif untuk terlibat, dan bukan sekedar penonton.
Setidaknya ada lima alasan mengapa industri asuransi perlu dilibatkan dalam Pembangunan tiga juta rumah. Pertama, permodalan asuransi din Indonesia sudah makin membaik. Sesuai data OJK (2024), permodalan industri asuransi termasuk stabil dan solid, dengan Risk Based Capital (RBC) diatas ketentuan minimum (120%). OJK mencatat, RBC Perusahaan Asuransi Jiwa sebesar 420,67%, sementara RBC Asuransi Umum dan Reasuransi sebesar 325,93%. Ini jauh di atas batas ketentuan minimum.
Kedua, aset industri asuransi di tanah air juga kian meningkat. Menurut data OJK (2024), aset industri Perusahaan Asuransi mencapai Rp.913,32 triliun, naik 2,40% dari tahun sebelumnya (Rp.903,58 trilliun). Ini menjadi modal yang bagus karena penjaminan program tersebut ditopang asset yang kuat.
Ketiga, program tiga juta rumah dapat meningkatkan penetrasi asuransi yang baru 2,8% (Sept 2024), melalui penjualan produk Asuransi Jiwa Kredit, Asuransi Properti, dan Surety Bond. Ini jelas potensi pasar yang besar. Dengan target tiga juta rumah, setidaknya akan ada potensi peningkatan tiga juta polis asuransi jiwa kredit dan tiga juta polis asuransi properti dalam beberapa tahun ke depan. Ini belum termasuk potensi sertifikat Surety Bond.
Keempat, Industri asuransi dalam negeri sudah memiliki produk asuransi yang relevan. Perusahaan Asuransi Jiwa, misalnya, dapat menjual polis Asuransi Jiwa Kredit (AJK) yang akan memproteksi bank dari risiko kredit macet. Asuransi Umum, dapat menjual polis Asuransi Properti, yang akan memproteksi rumah dari risiko kebakaan dan bencana, serta sertifikat Surety Bond yang akan memproteksi pemerintah, bila kontraktor wanprestasi.
Kelima, industri asuransi mendapat dukungan dari OJK. Sebagai regulator, OJK memberikan dukungan melalui relaksasi dan kemudahan pembentukan konsorsium. Ini memungkinkan industri perasuransian (asuransi, reasuransi, pialang asuransi, pialang reasuransi dan jasa penilai kerugian), bersinergi secara sehat.
Alhasil, wajar jika industri asuransi dituntut untuk turut mendukung program pembangunan tiga juta rumah karena permodalan dan asetnya yang sudah kuat, produknya yang relevan, peningkatan penetrasi asuransi, serta ada dukungan OJK. Keterlibatan industri asuransi dalam program tiga juta rumah juga diharapkan menjadi solusi nyata, bukan sekadar ilusi.
Bagi rakyat marginal, memiliki rumah diharapkan dapat terwujud, menjadi simbol harapan dan masa depan yang lebih baik. Arsitek ternama dan antropolog, Amos Rapoport (1969) mengatakan, rumah adalah cerminan budaya, identitas, dan kebutuhan penghuninya. Rumah adalah gambaran penghuninya. Semakin baik rumah-rumah rakyat kita, semakin baiklah rakyat kita secara keseluruhan.
Baca juga: Serangan Siber, Regulasi, dan Asuransi
*Praktisi Perasuransian | Mahasiswa Doktoral Manajemen Berkelanjutan Perbanas Institute