Opini

Ternyata, APBN 2020 Tak Disiapkan Menghadapi Resesi Ekonomi

Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. Peringatan tentang resesi ekonomi global telah disuarakan oleh banyak ahli, banyak Lembaga, dan otoritas ekonomi berbagai negara. Bahkan, diakui telah mulai berlangsung saat ini. Mereka juga menduga kondisi cenderung memburuk pada tahun 2020, antara lain karena perang dagang Amerika dan China belum ada tanda-tanda akan mereda.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mulai mengakui hal itu, seraya menyatakan kewaspadaan atas dampaknya bagi perekonomian Indonesia. Presiden Jokowi pun akhirnya merasa perlu rapat khusus bagaimana mengantisipasi kondisi tersebut.

Sebenarnya tidak ada definisi yang seragam tentang resesi ekonomi. Salah satu yang umum dipakai adalah pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi atau negatif dalam dua triwulan beturut-turut atau lebih. Dengan ukuran ini, Indonesia pernah mengalami kontraksi selama lima triwulan, mulai kuartal IV tahun 1998.

Berdasar pengertian itu, Pemerintah berpandangan bahwa Indonesia belum mengalami resesi dan tak akan mengalaminya di tahun 2020. Pandangan senada disampaikan Chatib Basri, ekonom dan mantan Menteri keuangan, tentang resesi masih jauh bagi Indonesia. 

Sebenarnya, resesi memiliki definisi yang lebih longgar. Yaitu laju pertumbuhan yang menurun signifikan, meski tidak sampai negatif, selama dua triwulan berturut-turut atau lebih. Sebagaimana yang pernah terjadi dalam tiga triwulan berturut-turut mulai triwulan IV 2008. Definisi ini lebih cocok untuk perekonomian Indonesia, yang kontribusi pertanian dan jasa nonmodern nya masih besar. Karena keduanya tidak terlampau terpengaruh dinamika global, setidaknya tidak langsung atau seketika.

Bagi perekonomian Indonesia, indikasi terjadinya resesi akan lebih tampak pada kondisi sektor industri pengolahan. Penyebabnya antara lain karena porsinya yang besar dalam PDB, dalam penyerapan tenaga kerja, dan terhadap ekspor. Dan yang lebih penting, makin terhubung langsung dan terdampak seketika dari dinamika ekonomi global.

Faktanya, industri pengolahan tumbuh melambat selama empat triwulan terakhir. Kondisinya lebih buruk dibanding tahun 2008-2009, yang kemudian dianggap resesi berskala kecil atau menengah.

Dapat pula dikatakan bahwa resesi yang berskala besar biasa disebut krisis. Sebagaimana yang pernah terjadi di Indonesia terjadi pada tahun 1998. Kontraksi pertumbuhan ekonomi dan lebih kentara pada industri pengolahan, diikuti oleh kenaikan tingkat pengangguran dan angka kemiskinan.

Tidak akan resesi, apalagi krisis, bukan hanya dari pernyataan pejabat pemerintah dan otoritas ekonomi lainnya. Secara jelas, asumsi makro APBN 2020 menetapkan pertumbuhan ekonomi akan sebesar 5,3%. Lebih tinggi dibanding outlook 2019. Asumsi lainnya sejalan, yang menjadi landasan tingginya target pendapatan dan naiknya alokasi Belanja. Ditetapkan pula turunnya tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Padahal sudah banyak yang mengingatkan bahwa akan sulit mencapai 5% pada tahun 2020. Penulis sendiri telah menyampaikan bahwa pada tahun 2019 saja kemungkinan hanya 4,9%. Dan pada tahun 2020 berpotensi lebih rendah lagi.

APBN 2020 juga menetapkan target penerimaan perpajakan yang kurang realistis, bahkan cenderung ambisius. Targetnya sebesar Rp1.865,7 triliun atau naik 13,55% dibanding outlook 2019. Jika shortfall lebih besar dibanding outlook, maka target kenaikan menjadi lebih tinggi lagi.

Perlu diketahui bahwa kenaikan rata-rata tahun 2015 – 2019 hanya 7,51% per tahun. Penerimaan perpajakan yang merupakan hasil kerja fiskus dan cerminan kondisi riil perekonomian, nyaris tidak akan memberi kejutan positif. Kenaikan yang tinggi di era Jokowi hanya terjadi pada tahun 2018, sebagai dampak kebijakan tax amnesty.

Antisipasi fiskal jika ekonomi dianggap telah atau akan resesi adalah belanja yang lebih ekspansif. APBN 2020 terbilang ekspansif jika dilihat dari masih besarnya defisit. Akan tetapi jika dicermati, maka tidak ada hal baru dalam belanja dalam artian mencegah resesi. APBN masih terbebani oleh pembayaran cicilan utang, belanja pegawai, dan belanja rutin lainnya. Kelanjutan pembangunan infrastruktur dari sisi APBN masih coba dipertahankan, meski berkurang lajunya.

Pada akhirnya, penulis menilai APBN 2020 tidak memiliki “sense of crisis”. Disusun dengan keyakinan belum dan tidak akan terjadi resesi. Jika ternyata terjadi, maka kebijakan fiskal akan kedodoran.

Chief economist Institut Harkat Negeri (IHN)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5  +  2  =