Ekspor pasir laut
Ekbis

Ternyata, Ini Alasan Jokowi Buka Kebijakan Ekspor Laut!

Channel9.id, Jakarta – Pemerhati lingkungan mengungkap alasan Pemerintahan Jokowi mengeluarkan kebijakan membuka ekspor pasir berupa sedimentasi laut lewat aturan yang baru terbit beberapa waktu lalu. Beleid yang dimaksud yaitu Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 20/2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag No.22/2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Permendag No.21/2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag No.23/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Revisi aturan tersebut merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati menduga bahwa wilayah Natuna-Natuna Utara menjadi daerah yang paling ingin dikeruk. Pasalnya, dari total potensi volume hasil sedimentasi dari tujuh lokasi tersebut mencapai 17,65 miliar meter kubik, 51% berasal dari Natuna atau sebesar 9,09 miliar meter kubik. Hal ini juga menimbulkan keraguan apakah mungkin hasil sedimentasi di Natuna dan Natuna Utara begitu luas dibandingkan enam lokasi lainnya sehingga negara mengeluarkan konsesi sampai 9,09 miliar meter kubik.

Dia menduga, ini ada kaitannya dengan rencana Singapura untuk membangun proyek reklamasi pelabuhan Tuas yang digadang-gadang bakal menjadi pelabuhan terbesar di dunia. “Kita mencoba berbaik sangka, tapi kayaknya nggak bisa kami berbaik sangka dalam hal ini, karena 9 miliar itu bukan angka main-main,” ujar Susan dalam konferensi pers, dikutip Senin (23/9/2024).

Kiara juga memperkirakan Indonesia berpotensi meraup penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp1.122 triliun dari ekspor pasir laut hasil sedimentasi. Nilai tersebut diperoleh berdasarkan perhitungan total kebutuhan material untuk diekspor diperkirakan mencapai 17,23 miliar meter kubik. Dari total potensi volume hasil sedimentasi dari tujuh lokasi pengerukan hasil sedimentasi sebesar 17,65 miliar meter kubik dikurangi kebutuhan material reklamasi dalam negeri sebanyak 421 juta meter kubik.

Dengan menggunakan harga patokan luar negeri yakni sebesar Rp186.000 per meter kubik sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.6/2024 dan PNBP sebesar 35%, maka total PNBP yang diterima sebesar Rp1.122 triliun. “Artinya ada Rp1.000 triliun PNBP akan diterima. Ini asumsi,” kata Susan.

Sementara itu, PNBP yang diterima negara dari penggunaan pasir laut di dalam negeri diestimasikan mencapai Rp11,7 triliun. Nominal tersebut dengan asumsi kebutuhan material reklamasi dalam negeri sebanyak 421 juta dengan menggunakan harga patokan Rp93.000 per meter kubik dan PNBP sebesar 30%.

Meski bisnis ini cukup menggiurkan, Susan lantas mempertanyakan dampaknya terhadap terhadap kedaulatan dan kesejahteraan nelayan. Jangan sampai, PNBP yang diterima tidak dirasakan manfaatnya oleh para nelayan. “Artinya PNBP itu jadi nonsense kalau kemudian kita bicara hanya sebatas pada angka. Karena pada terapannya, kedaulatan dan kesejahteraan nelayan sangat jauh,” ujarnya.

Sebelumnya, residen Jokowi menekankan agar kebijakan pembukaan ekspor untuk hasil sedimentasi di laut tidak disalahartikan sebagai pembukaan ekspor pasir laut yang selama 20 tahun ke belakang telah dilarang.  Dia menegaskan bahwa pemerintah hanya membuka keran ekspor untuk hasil sedimentasi di laut sehingga harapannya tak ada lagi pihak yang salah kaprah dalam mengartikan kebijakan pemerintah tersebut.

“Sekali lagi, itu bukan pasir laut ya, yang dibuka adalah sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal. Sekali lagi, bukan, nanti kalau diterjemahkan pasir beda loh ya, sedimen itu beda, meskipun wujudnya juga pasir, tapi sedimen. Coba dibaca di situ, sedimen,” ujar Jokowi usai meresmikan Kawasan Indonesia Islamic Financial Center dan Kantor FIBA Indonesia di Menara Danareksa Jakarta, Selasa (17/9/2024)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  7  =  9