Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. “Bunuh mereka, lawan mereka dengan segala cara yang bisa merenggut jiwa mereka, mengusir roh mereka dari tubuh mereka, membersihkan bumi dari kotoran mereka dan menyingkirkan momok mereka dari umat manusia, dengan cara apapun.”
Sepenggal instruksi itu membuka bab bertajuk “Pembunuhan Acak terhadap Orang-Orang Kafir” dalam buku Fiqh al-Dima atau Yurisprudensi Darah. Buku ini ditulis oleh seorang ideolog terpenting kelompok militan ISIS, Abu Abdullah al-Muhajir, dan menjadi manual bagi pelaksanaan jihad baik di wilayah kekuasaan maupun negara-negara lain dalam skala global. Abu Abdullah al-Muhajir adalah salah satu ideolog paling berharga yang dimiliki ISIS. Buku Yurisprudensi Darah adalah satu bentuk kongkritnya. Dan buku Yurisprudensi Darah kabarnya bisa diposisikan sebagai panduan terpenting dalam perjuangan ISIS.
Abu Abdullah al-Muhajir adalah kombatan asal Mesir yang kenyang berjihad di Afghanistan sejak era 1980-an. Ia berbaur dan berjuang bersama dengan Osama bin Laden dan Ayman al-Zawahiri, dua pentolan Al Qaeda. Ia juga dekat dengan Taliban.
Buku Sebagai Amunisi
Umumnya, pelaku terorisme memiliki cara pandang yang sifatnya mutlak dan kaku. Artinya mereka hanya berpikir sempit tentang sorga dan neraka, benar dan salah. Apa penyebabnya? Salah satunya yang penting adalah cara pandang mereka banyak dipengaruhi oleh bahan bacaan yang dipakai. Pedoman yang sering mereka pakai kebanyakan adalah referensi berupa buku-buku yang berbasis dokrinasi. Selanjutnya kebiasaan membaca buku tersebut akan membutakan diri mereka tentang situasi. Tentu faktor konten indoktrinasi tadi memberi peran vital untuk bisa mempengaruhi pola pikir seseorang. Konsep indoktrinasi dalam buku memiliki pengaruh yang kuat. Karena dalam membaca kita bisa mengetahui, mengenal dan memahami.
Baca juga: Media, Runaway World dan Terorisme
Namun, jika isi buku melenceng, maka sulit bagi pembaca memiliki pemikiran yang terbuka. Akibatnya, upaya untuk menata toleransi akan mustahil dilakukan. Kekuatan buku dapat memberikan suatu dogma sehingga seseorang dapat merasa diri paling benar. Bahkan secara ekstrem dengan memaksakan kehendak sendiri atas orang lain. Situasi semacam inilah yang memunculkan prinsip-prinsip garis keras dan ekstremis dalam berperilaku. Bisa ditebak, konflik sosial adalah masalah yang ditimbulkan dari tindakan radikal tersebut. Kerukunan dalam masyarakat dipertaruhkan jika konflik kepercayaan dalam posisi yang tak terhindarkan.
Bagi sebagian orang mungkin masih meragukan kekuatan sebuah buku sebagai bahan bacaan. Banyak pelaku bom bunuh diri ternyata lahir dari membaca buku. Meski sebagian ada yang langsung belajar dengan hijrah ke negara-negara konflik di timur tengah. Namun, tak dipungkiri bahwa temuan bahwa banyaknya teroris yang lahir dengan membaca buku harus menjadi perhatian kita. Buku yang berisi ajakan-ajakan untuk perang dan melawan siapa saja yang tidak memiliki pandangan yang sejalan dengan mereka.
Itulah kekuatan buku yang dibangun atas dasar aktivitas membaca secara rutin. Kekuatan membaca sebenarnya tidak bisa dipandang sepele. Tindakan radikalisme adalah salah satu contoh fenomena yang dilahirkan dari aktivitas membaca. Meski pada akhirnya cara berpikir yang dilahirkan adalah cara berpikir sesat dan intoleransi. Kesesatan berpikir (fallacy) inilah yang membawa para ekstrimis pada pandangan bahwa kelompok non-sepaham adalah musuh dan harus dihancurkan. Sungguh sangat mengerikan.
Pusaka Literasi Negeri
Kita di Indonesia sesungguhnya memiliki khazanah literasi yang adiluhung. Perjalanan literasi bangsa terus berdinamika, pasang surut. Merujuk pada sejarah Indonesia, bisa kita baca peran pujangga di lingkungan kerajaan atau kraton pada masa lalu menjadi bukti budaya membaca menulis telah ada sejak lama. Hal tersebut menjadi embrio budaya literasi di negara ini. Para pujangga mengembangkan sajak berbasis pada masyarakat lokal sesuai dengan budayanya, mengingat bangsa ini memiliki beragam suku. Budaya menulis aksara (lambang bahasa) yang bermacam-macam, di aksara latin dan aksara lokal nusantara, seperti aksara jawa, aksara Bali, dan aksara Arab (pegon) sangat berkembang. Sebagai contoh, penggunaan aksara latin dan aksara palawa di berbagai buku atau prasasti.
Budaya menulis ini pun terlihat mengemukakan pikiran atau makna mendalam, seperti aksara palawa yang mengandung filosofi. Tulisan di dalam setiap aksara memiliki arti dan makna masing-masing. Masyarakat bangsa ini—hasil penelitian Melanie Wallendorf (2001)—sedari lama telah mengenal tradisi membaca berbagai serat, layang dan kitab.
Tradisi ini tidak berhenti pada keterampilan membaca, lebih menyatu dengan kehidupan masyarakat. Berbagai ritual keagamaan atau upacara adat selalu menghadiri tradisi membaca berbagai serat atau kitab. Pada masyarakat Sunda, ada tradisi ruwatan yang dipublikasikan sebagai persyaratan menjabarkan aksara hingga pembacaan mantra-mantra. Masyarakat juga mengamalkan tradisi tujuh bulanan dengan membaca serat-serat khusus untuk bayi yang dikandung dan berbagai tradisi lain. Selain itu, ada tradisi ‘Mambaca’ dalam bahasa Madura yang berarti membaca. Tradisi ini merupakan acara membacakan kitab dengan aksara Arab (pegon).. Pada cerita-cerita hikayat, dipelajari berbagai kisah dengan bahasa Melayu dan tulisan beraksara Arab (pegon).
Bangsa ini memiliki beragam suku, serta menyerap berbagai budaya luar, seperti budaya arab (Islam) dan Melayu. Literasi sebagai budaya membaca terbukti telah ikut andil dalam kemajuan pendidikan dalam kebidupan bangsa ini. Ini menjadi bukti, bahwa dari pendahulu bangsa ini memiliki eksistensi yang menjadi akar budaya literasi. Secara mendalam, literasi tidak hanya kegiatan mengeja atau menggoreskan bahasa. Lebih dari itu, dalam kegiatan ini ada kebermaknaan di setiap aktivitasnya.
Literasi pada bangsa ini diaplikasikan melalui membaca dan menulis apa yang terlihat. Misalnya, masyarakat percaya akan berbagai fenomena alam, lalu hal itu dibaca dan dituliskan oleh ahlinya. Bangsa Indonesia telah mengenal dunia literasi sejak jaman kuno, seperti halnya peninggalan gambar dan tulisan di goa goa prasejarah, atau jejak tulisan dalam berbagai prasasti dan candi-candi. Setelah itu, di zaman kolonial, kita tahu bagaimana literasi semakin dikembangkan. Salah satunya R.A. Kartini rajin membaca buku dan menulis surat untuk sahabatnya di Belanda yang kemudian dijadikan buku dengan judul “Habis Gelap, Terbitlah Terang”. Dalam narasi sejarah bangsa, juga diceritakan tentang bangsa Indonesia yang dimulai dengan jumlah besar produk-produk tulisan para tokoh pejuang dan penulis surat kabar cetak yang sangat kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda. Maka tak heran bila kemudian pada masa Kemerdekaan Indonesia, Presiden Sukarno sangat senang membangun negara dengan tidak lagi mengangkat senjata, tetapi mengangkat pena dan buku untuk memberantas kebodohan di kalangan masyarakat.
Perangai Ilmiah
Pada mulanya literasi sering dipahami sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf. Kemudian melek aksara dipahami sebagai kepahaman atas informasi yang tertuang dalam media tulis. Kegiatan literasi lalu identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Lebih lanjut, literasi dipahami sebagai kemampuan berkomunikasi sosial di dalam masyarakat. Di sinilah literasi sering dianggap sebagai kemahiran berwacana.
Dalam konteks inilah Deklarasi Praha pada tahun 2003 mengartikan literasi sebagai kemampuan seseorang dalam berkomunikasi di masyarakat. Literasi juga mengandung makna praktek dan hubungan sosial yang berkaitan dengan bahasa, pengetahuan, dan budaya (UNESCO, 2003). Deklarasi UNESCO tersebut juga menyebutkan bahwa literasi informasi terkait pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi bermacam-macam persoalan. Kemampuan-kemampuan tersebut perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan hal tersebut merupakan bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.
Nah, melawan radikalisme dan terorisme perlu gerakan bersatu. Jika seluruh rakyat bersatu, maka gerakan masyarakat dapat mewujudkan literasi buku-buku yang bermuatan ilmiah dan toleransi akan memberi nilai-nilai saling menghargai. Gerakan membaca buku ilmiah, sains dan toleransi diharapkan dapat memberikan pandangan-pandangan yang kritis dan damai. Tiap orang akan mampu berpikir secara bijak. Bahkan kekuatan buku ilmiah dan toleransi dapat mengajarkan setiap pembacanya untuk menebarkan benih kebaikan dan amal baik terhadap sesama.
Buku adalah indikator penentu kemajuan peradaban suatu bangsa. Buku punya andil besar dalam memberi pengetahuan yang benar terhadap masyarakat. Masyarakat yang memiliki sikap dan pengetahuan yang benar dapat dilihat dari sikap atau tindakan. Oleh sebab itu, gerakan buku-buku ilmiah, sains dan toleransi harus dikampanyekan secara massif agar masyarakat memahami pentingnya membangun keadaban dan peradaban berbasis ilmu pengetahuan dalam masyarakat.
Kehadiran buku mampu memberi refleksi yang selanjutnya dapat meredam terjadinya konflik. Konflik tidak akan muncul jika cara berpikir dapat mengedepankan sebuah perjuangan untuk membangun bangsa. Buku yang berisi tentang kedamaian dibaca dan disikapi dengan cara berpikir bijak, maka masyarakat akan dibawa kepada proses untuk saling menghargai akan perbedaan dan keberagaman.
Disinilah untuk membangun kekuatan buku yang mampu melawan terorisme perlu digalakkan seperti melalui diskusi-diskusi tentang buku-buku ilmiah, toleransi dan keberagaman. Masyarakat perlu difasilitasi tentang pemahaman dari berbagai referensi agar memiliki cara pandang ilmiah.
Dan juga, peran akademisi perlu direposisi yang tidak hanya menjadi ‘narsum’ dalam acara-acara seremonial. Yang lebih penting adalah keterlibatan para akademisi secara lebih menukik dan membumi. Para aktor intelektual perlu terjun langsung secara intensif tanpa terbelingut oleh ‘embel-embel’ akademis. Mereka perlu ‘versetehen’ dan tak hanya ‘erklaren’, hanya berkutat di arasy teori-teori canggih, tapi juga membenamkan diri. Ibarat berenang, tak hanya mengajarkan teori berenang, tapi langsung menceburkan dalam air.
Walhasil, kehadiran buku sebagai salah satu ‘senjata’ untuk melawan radikalisme dan terorisme harus dikuatkan melalui kesadaran bersama demi menjaga keutuhan bangsa. Sebab di luar sana pun sudah banyak peredaran buku-buku yang mengajarkan permusuhan dan kekerasan. Mari kita lawan radikalisme dan terorisme dengan buku yang membawa pesan damai sembari kita terus jihad menanamkan perangai ilmiah (scientific temper), yaitu berfikir dan bertindak selaras rasionalitas dan empirik, tidak lagi hanya termakan oleh mitos dan doktrin picik atas realitas.
Peneliti dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)