Channel9.id – Bali. Gubernur Bali periode 2018-2023, Wayan Koster, dikenal dengan komitmennya dalam mendorong Bali menjadi daerah yang mandiri dalam pasokan energi. Salah satu langkah penting yang diambil selama masa jabatannya adalah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 45 Tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih.
Ketua Tim Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana, Prof. Ida Ayu Dwi Giriantari menilai Pergub Nomor 45/2019 adalah fondasi utama transisi energi di Bali menuju penggunaan energi bersih dan energi baru terbarukan (EBT). Bahkan, menurutnya, pergub tersebut merupakan langkah strategis pertama di Indonesia yang memprioritaskan energi bersih.
Namun, lanjutnya, pelaksanaan kebijakan ini sempat terhambat oleh pandemi Covid-19 pada awal 2020.
“Dalam implementasinya memang ada banyak tantangan. Ketika pergub itu dikeluarkan, 2019, selanjutnya langsung pandemi Covid-19. Jadi kendalanya di sana sehingga mungkin implementasinya juga agak tersendat.
Kendati demikian, kata Prof Giri, pergub tersebut dapat diimplementasikan dengan baik pascapandemi Covid-19. Bahkan, lanjutnya, program transisi energi di Bali ini menunjukkan perubahan yang signifikan.
“Tapi setelah Bali kembali recover dari pandemi, penerapan pergub ini sudah mulai diterapkan, itu bisa dilihat dari peningkatan jumlah kapasitas terpasang dari energi terbarukan, energi bersih di Bali, dan beberapa program-program yang sudah berjalan, seperti mengganti PLTD menjadi PLTG, itu salah satu program transisi energi yang dilakukan,” jelas Prof. Giriantari.
Pascapandemi, sejumlah inisiatif menuju Bali Energi Bersih mulai kembali bergerak, di antaranya penggantian Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) yang dinilai lebih ramah lingkungan. Selain itu, kapasitas terpasang energi terbarukan di Bali terus mengalami peningkatan.
“Untuk energi terbarukan, itu sudah meningkat sebenarnya dari kapasitas, dari 2 mega menjadi 14 mega lebih. Itu sudah terjadi peningkatan. Tapi, kita belum lega, masih harus terus digenjot supaya ini terus berkembang. Ini perlu kerja sama,” kata Prof. Giri.
Menurut Prof. Giri, penerbitan Pergub Nomor 45/2019 berangkat dari keinginan Koster agar Bali tidak lagi bergantung pada pasokan energi dari luar daerah, khususnya dari Pulau Jawa. Oleh karena itu, dengan pertumbuhan sektor pariwisata yang terus mendorong meningkatnya kebutuhan energi, Prof. Giri menegaskan agar Bali bersiap menghadapi lonjakan permintaan listrik dalam lima tahun ke depan.
“Sampai saat ini, sebenarnya, Bali masih aman antara kebutuhan dan supply yang ada. Masih aman. Tapi tidak dalam lima tahun ke depan karena pasti kebutuhan akan meningkat. Oleh karena itu, pembangunan untuk energi bersih ini harus terus digenjot,” tambah Prof. Giriantari.
Selama masa jabatannya sebagai Gubernur Bali, Wayan Koster juga berhasil memperkuat kebijakan energi daerah melalui Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Bali. Kebijakan ini sejalan dengan target nasional untuk mengurangi penggunaan energi fosil secara bertahap dan meningkatkan kontribusi energi terbarukan di Bali.
Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah memastikan bahwa Bali tidak akan lagi membangun pembangkit listrik berbasis batu bara setelah kontrak PLTU Celukan Bawang berakhir pada 2045.
Kebijakan Koster dalam mendorong energi bersih ini sejalan dengan komitmen Bali untuk mempertahankan citranya sebagai destinasi pariwisata yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Kontrak untuk PLTU Celukan Bawang itu kan sampai 2045 kalau tidak salah. Jadi setelah itu sudah tidak akan ada lagi penambahan pembangkit batu bara. Itu memang ada di dalam Pergub Nomor 45 dan juga dalam kebijakan yang sudah dibuat oleh Pak Koster sebelumnya, yaitu rencana umum energi daerah itu juga sudah mengakomodasi itu. Jadi 2045 tidak akan ada lagi pembangkit batu bara di Bali,” jelas Prof. Giri.
Baca juga: Profesor Unud Apresiasi Kebijakan Energi Bersih Koster: Terobosan Menuju Bali Mandiri Energi
HT