Nasional

Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto, PB IKA PMII Ungkap Represivitas Era Orde Baru

Channel9.id – Jakarta. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII) Zani Rahman menegaskan bahwa tindakan represif rezim Soeharto terhadap Nahdlatul Ulama (NU) berlangsung selama tiga dekade.

Ia menilai pengalaman pribadi, pengalaman komunitas NU dan PMII, serta pandangan normatif harus menjadi pijakan ketika menilai sosok Soeharto. Zani juga menggambarkan bagaimana rezim Orde Baru mengekang ruang kebebasan berpikir pada masa itu.

“Saya dua kali ditangkap dan disiksa hanya karena mengadakan diskusi. Bukan karena demonstrasi, tapi karena bicara soal Lembaga Kepresidenan di tahun 90-an. Mata ditutup, disetrum, bahkan diancam dicabut kuku,” kata Zani dalam Diskusi Pro Kontra Gelar Pahlawan Soeharto di Kantor PB IKA PMII, Minggu (9/11/2025).

Ia menambahkan pernah menyaksikan ayahnya dipukuli aparat karena kampanye untuk PPP pada dekade 1980-an. Menurutnya, pengalaman tersebut menyisakan trauma yang memengaruhi penilaiannya terhadap Soeharto.

“Itu menimbulkan trauma mendalam. Dari pengalaman itu saja, sulit bagi saya untuk menilai Soeharto sebagai orang baik,” ujarnya.

Zani menilai bahwa tindakan rezim Soeharto terhadap NU bukan insiden politik sesaat, melainkan bentuk penindasan sistematis yang menghancurkan struktur organisasi. Ia menyebutkan hasil riset pasca-reformasi menggambarkan bagaimana kebijakan politik Orde Baru merugikan NU.

“Kami menemukan titik nadir kehancuran NU akibat kebijakan Soeharto mulai dari Undang-Undang Keormasan, Pemilu, hingga Partai Politik. Selama 32 tahun itu, NU dimatikan secara perlahan,” ungkapnya.

Ia menjelaskan bahwa fakta historis tersebut menjadi alasan kuat penolakan dari banyak tokoh NU terhadap usulan gelar pahlawan untuk Soeharto. Zani menegaskan bahwa dampak dari tindakan rezim tersebut masih dirasakan hingga kini.

“Proses penzaliman itu permanen dan dampaknya luar biasa. Karena itu, wajar jika penolakan muncul dari berbagai pihak,” tegasnya.

Zani menyatakan NU tetap diajarkan untuk memaafkan siapa pun yang pernah berkonflik dengan mereka. Namun ia menolak jika sikap memaafkan dijadikan dalih memberikan gelar pahlawan kepada tokoh yang meninggalkan rekam jejak kontroversial.

“NU harus memaafkan, tidak boleh dendam. Tapi memaafkan bukan berarti harus memberi gelar pahlawan,” katanya.

Ia juga menyoroti argumen pihak yang menilai Soeharto berjasa dalam stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, angka pertumbuhan ekonomi tidak mencerminkan kondisi riil rakyat kecil pada masa itu.

“Tahun 80-an, saya harus jual dua sapi untuk beli sepeda ontel ke sekolah. Itu menunjukkan betapa tidak berharganya hasil petani. Angka pertumbuhan ekonomi 6-7 persen itu tidak pernah dirasakan oleh rakyat bawah,” ujarnya.

Zani menegaskan tetap mengikuti keputusan para kiai terkait isu ini, tetapi secara pribadi tidak dapat menerima Soeharto sebagai pahlawan. Ia menilai penilaian rasional tetap diperlukan dalam melihat peran Orde Baru terhadap kelompok masyarakat tertentu.

“Kalau nanti para kiai memutuskan lain, saya akan tunduk. Tapi secara rasional, sebagai bagian dari NU, saya tidak bisa menerima Soeharto disebut pahlawan,” pungkasnya.

Aktivis 1998 Amsar Dulmanan juga menilai tidak ada dasar hukum baru yang dapat mendukung pemberian gelar tersebut. Ia merujuk pada aturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 yang mensyaratkan rekam jejak moral tanpa pelanggaran terhadap bangsa dan hak asasi manusia.

“Syaratnya jelas harus berjasa bagi bangsa dan negara, memiliki integritas moral, keteladanan, dan tidak tercela karena pelanggaran hukum atau HAM,” ujarnya.

Amsar menjelaskan bahwa menurut kajiannya, Soeharto justru menerapkan model kekuasaan hegemonik dan dominatif. Ia menilai pengaruh kekuasaan tersebut kuat hingga ke dunia pendidikan dan membentuk struktur pemerintahan yang tunduk pada kepentingan penguasa.

“Kekuasaan Soeharto itu dibangun atas dasar hegemoni yang menindas, bahkan di dunia pendidikan pengaruhnya terasa kuat. Aparatur dan sistem dibuat tunduk agar melanggengkan kekuasaan,” katanya.

Ia menambahkan bahwa Orde Baru membangun pola korporatisme politik yang mengonsolidasikan kekuatan negara dan masyarakat di bawah kendali pemerintah. Kondisi tersebut dianggapnya menghilangkan ruang partisipasi publik dan memperkuat dominasi militer.

“Sejak awal niat kekuasaannya sudah salah. Sumber daya nasional dieksploitasi oleh kelompok tertentu, dan sampai sekarang hasilnya masih dirasakan penguasaan tambang dan mineral tetap di tangan kelompok yang sama,” tegasnya.

Amsar menilai tidak ada urgensi moral maupun historis dalam pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto di situasi bangsa saat ini. Ia berpendapat bahwa jejak represif Orde Baru masih membekas, sementara agenda reformasi belum sepenuhnya terwujud.

“Kalau alasan pemberian gelar itu demi negara, mestinya bukan dengan cara menutupi kesalahan masa lalu. Kita harus belajar dari sejarah, bukan memuliakan pelaku yang menindas rakyatnya,” pungkasnya.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

50  +    =  51