Channel9.id, Jakarta – Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan blok BRICS berpotensi menyeret Indonesia ke dalam pusaran perang dagang baru. Hal ini menyusul keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengumumkan rencana penerapan tarif impor sebesar 32% terhadap seluruh produk asal Indonesia yang masuk ke pasar AS mulai Agustus 2025.
Langkah tersebut dikaitkan langsung dengan keikutsertaan Indonesia dalam BRICS—kelompok ekonomi negara berkembang yang kini beranggotakan 11 negara, termasuk China, Rusia, Brasil, hingga Uni Emirat Arab. Dalam surat resmi yang diunggah melalui akun Truth Social miliknya, Trump menyebutkan bahwa kebijakan tarif tinggi ini merupakan bagian dari upaya menanggulangi defisit perdagangan AS yang disebutnya “tidak berkelanjutan”.
Namun, lebih dari sekadar koreksi dagang, kebijakan ini mencerminkan eskalasi posisi AS terhadap BRICS, yang dianggap Trump sebagai blok dengan kecenderungan “anti-Amerika.” Ancaman Trump bahkan meluas hingga ke kemungkinan kenaikan tarif lebih tinggi dari 32%, serta tambahan 10% untuk negara-negara yang mendukung kebijakan BRICS yang tidak sejalan dengan kepentingan Washington.
“Negara mana pun yang berpihak pada kebijakan anti-Amerika dari BRICS akan dikenakan tarif tambahan sebesar 10%. Tidak ada pengecualian,” tulis Trump dalam unggahannya.
Ancaman tarif ini membuka risiko serius bagi perekonomian Indonesia. Selain memukul daya saing ekspor ke AS, kebijakan tersebut dapat berdampak pada hubungan dagang lintas kawasan, terutama di ASEAN.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, memperingatkan bahwa tarif diskriminatif terhadap negara-negara ASEAN dapat memecah solidaritas regional. Negara-negara yang terkena dampak tarif tinggi bisa merasa terpinggirkan, sementara yang tidak terkena justru diuntungkan.
“Guncangan ini bisa menyebabkan fragmentasi di dalam ASEAN. Daya saing kawasan juga akan terpengaruh, sehingga menghambat pencapaian ASEAN Economic Community,” ujarnya.
Meski pernyataan Trump sudah jelas, hingga kini Gedung Putih belum menerbitkan perintah eksekutif resmi untuk memberlakukan tarif tambahan terhadap negara-negara BRICS. Namun, sumber internal menyebut bahwa “garis sudah ditarik”, dan tarif bisa segera diberlakukan jika ada kebijakan yang dianggap anti-Amerika.
Dengan Indonesia masih menegosiasikan posisi strategisnya dalam BRICS, langkah balasan dari Washington bisa menjadi ujian pertama bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam mengelola hubungan ekonomi global yang semakin kompleks.