Kemal H Simanjuntak
Opini

Tuntutan GRC pada Bank Digital

Oleh: Dr. Kemal H. Simanjuntak, MBA, GRCE

Channel9.id-Jakarta. Lanskap perbankan Indonesia telah mengalami transformasi drastis dalam lima tahun terakhir, didorong oleh revolusi digital dan perubahan preferensi konsumen. Munculnya bank digital seperti Bank Jago, Seabank, Krom Bank, dan Jenius menjadi katalis utama perubahan ini.

Bank-bank tersebut tidak hanya menawarkan kemudahan akses melalui platform digital, tetapi juga menarik nasabah dengan suku bunga deposito mencapai 5-7% per tahun, jauh melampaui rata-rata bank konvensional yang hanya 3-4%. Padahal, Januari silam, BI sudah menurunkan suku bunga acuan dari 6% menjadi 5,75%. Februari ini, BI mungkin akan menurunkan lagi sukubunga acuannya. Tapi, sejauh ini, bank digital bergeming. Mereka tetap mengerek sukubunga deposito tinggi-tinggi.

Fenomena “perang suku bunga” ini tidak hanya menarik generasi milenial dan UMKM yang mengutamakan efisiensi, tetapi juga memaksa bank konvensional untuk beradaptasi dengan teknologi baru guna mempertahankan pangsa pasar. Tapi, strategi obral bunga ala bank digital bukannya tanpa risiko. Salah-salah, strategi itu bisa berbalik menciptakan masalah likuidtas.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Desember 2023, jumlah bank digital di Indonesia meningkat 50% dalam setahun, dari 8 entitas pada 2022 menjadi 12 entitas pada 2023. Pertumbuhan ini diiringi lonjakan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 66,7%, dari Rp150 triliun pada 2022 menjadi Rp250 triliun pada 2023.

Jumlah nasabah aktif bank digital juga meroket 66,7% menjadi 25 juta pada 2023, didominasi oleh generasi muda berusia 18-35 tahun (65%, menurut data Populix 2023). Meski demikian, bank konvensional masih mendominasi 97% total aset perbankan nasional (HAP) senilai Rp8.500 triliun, sementara bank digital baru menguasai 3% (Rp300 triliun). Namun, pertumbuhan DPK bank digital yang mencapai 66,7% per tahun—delapan kali lipat dibandingkan bank konvensional (8%)—menunjukkan pergeseran tren yang signifikan.

Kalau sudah begini, bank digital mutlak harus memnjalankan benar prinsip GRC (Governance, Risk, and Compliance) dalam kesehariannya. Ini tidak hanya untuk memuat mereka bertahan dalam persaingan, tetapi juga tumbuh secara berkelanjutan.

Dari aspek Governance (Tata Kelola), struktur kepemimpinan yang transparan dan kebijakan penetapan suku bunga berbasis analisis risiko menjadi fondasi krusial. Misalnya, bank digital seperti Bank Jago membentuk komite manajemen risiko independen yang bertugas memantau kecukupan likuiditas dan memastikan penetapan suku bunga tidak menggerus profitabilitas.

Dari aspek Risk Management (Manajemen Risiko), bank digital harus mampu mengantisipasi fluktuasi pasar dan tekanan likuiditas. Rasio Loan-to-Deposit Ratio (LDR) bank digital rata-rata 78% pada 2023—masih di bawah batas aman OJK (85%)—tetapi risiko meningkat jika nasabah melakukan penarikan dana masif akibat pergeseran suku bunga. Untuk itu, bank seperti Seabank mengalokasikan 20% dari DPK sebagai cadangan likuiditas darurat.

Yang penting lagi, pastikan aspek Compliance (Kepatuhan) terhadap regulasi bekerja sebagai tameng utama menghindari sanksi dan menjaga kepercayaan nasabah. OJK telah menerbitkan POJK No. 12/2023 yang membatasi suku bunga deposito maksimal 7%, serta mewajibkan transparansi informasi biaya dan syarat produk. Pelanggaran atas aturan ini, seperti yang terjadi pada salah satu bank digital pada kuartal III 2023, berpotensi mengakibatkan denda hingga Rp50 miliar dan penurunan reputasi.

Berpeluang dalam Jangka Panjang

Ketika persaingan semakin panas, melalui inovasi produk seperti Deposito Flexi Bank Jago yang menawarkan bunga 6,5% dengan likuiditas harian, atau Blu by BCA Digital yang memberikan cashback 0,5% untuk setoran deposito baru, GRC menjadi kian relevan. GRC yang akan mengingatkan bahwa tekanan pada margin bunga bersih (net interest margin) bank digital—yang turun dari 5,2% (2022) menjadi 4,1% (2023)— harus memaksa mereka mencari strategi alternatif.

Integrasi dengan ekosistem digital (contoh: Seabank dengan ShopeePay) dan pemanfaatan teknologi AI untuk personalisasi layanan menjadi solusi untuk menekan biaya operasional hingga 30% (McKinsey, 2023). Di sisi lain, tantangan seperti rendahnya literasi keuangan—42% nasabah bank digital tidak paham risiko fluktuasi suku bunga (OJK, 2023)—dan ancaman siber (15% bank digital mengalami upaya peretasan pada 2023) membutuhkan kolaborasi antara regulator dan pelaku industri.

OJK sudah merespons dinamika ini dengan memperkuat pengawasan, termasuk inspeksi rutin terhadap 10 bank digital pada 2023 dan sosialisasi financial health check untuk nasabah. Proyeksi pertumbuhan aset bank digital hingga Rp1.000 triliun (10% total HAP) pada 2025 menunjukkan potensi pasar yang masih besar.

Namun, kunci keberhasilannya terletak pada kinerja GRC yang solid: tata kelola yang agile, manajemen risiko berbasis data real-time, dan kepatuhan yang konsisten. Dengan ekonomi digital Indonesia yang diprediksi tumbuh 12% per tahun hingga 2030, bank digital yang mampu menyeimbangkan inovasi dan stabilitas melalui GRC akan menjadi pemenang dalam persaingan jangka panjang.

Baca juga: GRC untuk Kemajuan UMKM Indonesia

*Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  45  =  47