Channel9.id – Jakarta. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menanggapi rencana pemerintah yang akan menerapkan kembali Ujian Nasional (UN) pada 2026 mendatang. P2G meminta Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) jangan dulu gegabah menghidupkan kembali UN.
Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri mengusulkan agar UN tidak lagi menjadi syarat penentu kelulusan bagi peserta didik. Sebab, katanya, format UN sebagai penentu kelulusan akan menjadi tes beresiko tinggi bagi siswa.
“Jika UN digunakan sebagai penentu kelulusan siswa, ini jelas harus ditolak. Karena bersifat high-stakes testing bagi murid,” kata Iman dalam keterangan resmi P2G, dikutip Senin (6/1/2025).
Ia juga meminta Kemendikdasmen untuk mempertimbangkan kejelasan asesmen terstandar bagi murid yang diselenggarakan. Hal itu meliputi kejelasan tujuan, fungsi, anggaran pembiayaan, kepesertaan, instrumen, gambaran teknis, dan dampaknya.
Selain itu, Kemendikdasmen juga harus memperhatikan kriteria asesmen bagi murid yang bertujuan mengevaluasi sistem pendidikan, yaitu asesmen dirancang sesuai tujuan sistem pendidikan, asesmen bersifat low-stake atau tidak berisiko apapun terhadap capaian akademik murid.
“Dan asesmen yang memuat informasi komprehensif dari segi input, proses, dan output pembelajaran,” tuturnya.
Berdasarkan penyelenggaraan sebelumnya, Iman menilai fungsi UN mencampuradukkan fungsi asesmen sumatif bagi murid dan formatif bagi sekolah. Bahkan, UN dijadikan sebagai alat untuk menyeleksi murid masuk ke jenjang pendidikan di atasnya dalam proses PPDB yang menggunakan nilai UN.
“UN pada masa lampau sangat tidak adil, hanya berorientasi kognitif, mendistorsi proses pendidikan itu sendiri, dan mengkotak-kotakan mana mata pelajaran penting dan yang tidak,” lanjut Iman.
Lebih lanjut, Iman menilai pada era Anies Baswedan dan Muhajir Effendi sebagai Mendikbud, UN tetap diadakan tapi tidak menjadi penentu kelulusan. Jika UN yang akan dikembalikan Mendikdasmen Abdul Mu’ti seperti era Mendikbud Muhajir, maka harus jelas tujuan, fungsi, skema, anggaran, kepesertaan, instrumen, teknis implementasi, dan dampaknya.
“Apakah ujiannya berbasis mata pelajaran, apa saja? Empat mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan mata pelajaran pilihan untuk SMA/SMK/MA? Atau justru semua pelajaran yang di-UN-kan?”, tanya Iman.
Selain itu, skema UN yang pernah dilakukan di SMA/SMK/MA yaitu tiga Mata Pelajaran Wajib ditambah satu Mata Pelajaran Peminatan.
“Jelas ini mendiskriminasikan mata pelajaran wajib lainnya seperti Pendidikan Pancasila, PJOK, Seni Budaya dan Pendidikan Agama,” kata dia.
Iman juga menyoroti besarnya anggaran penyelenggaraan UN berbasis mata pelajaran sebelumnya, yang mencapai Rp500 miliar. Menurutnya, jika UN bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kurikulum, maka semua mata pelajaran dalam Standar Isi yang seharusnya diujuikan.
“APBN untuk Kemdikdasmen tahun 2025 saja hanya 33,5 triliyun. Rasanya anggaran UN yang besar itu akan mengganggu program prioritas pendidikan yang lain,” jelas Iman.
HT