Channel9.id-Jakarta. Tak bisa dipungkiri bahwa setiap proses penyelenggaraan pemilu selalu dihantui oleh potensi pelanggaran aturan seperti politik uang. Berangkat dari itu, Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, Amir Yanto, menekankan pentingnya penegakan atas pelanggaran selama proses pemilu, termasuk melalui pelibatan instrumen Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Untuk diketahui, Sentra Gakkumdu terdiri dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kepolisian, dan kejaksaan agung. Ketiganya berkolaborasi untuk mewujudkan penegakkan hukum selama pemilu.
Baca juga: Kemendagri bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP Suarakan Pencegahan Politik Uang
Sentra Gakkumdu dihadirkan sebagaimana amanat Undang-Undang (UU) Pemilu No. 7 Tahun 2017. Kehadirannya ditujukan untuk menyamakan persepsi dan pola penanganan tindak pidana pemilu, sehingga penindakan terhadap pelanggaran pemilu bisa dilaksanakan tepat waktu.
“Sentra Gakkumdu harus berkolaborasi dan bersinergi dengan intensif sehingga permasalahan terkait tindak pidana pemilu bisa diselesaikan dengan ketentuan yang berlaku,” pungkas Amir dalam seminar daring yang digelar oleh Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Kamis (9/2).
Amir mencatat bahwa berkaca pada Pemilu 2019, pelanggaran terkait politik uang banyak terjadi menjelang hari pemungutan atau penghitungan suara. Di masa-masa itu, banyak terjadi penggunaan uang atau barang untuk memengaruhi pemilihan pemilih. “Tapi sulit untuk dibuktikan atau ditindaklanjuti sebagai kasus pidana pemilu,” imbuhnya.
“Terbukti di 2019 hanya ada 24 kasus politik uang yang ditemukan oleh Bawaslu secara nasional. Padahal ada banyak jenis pelanggaran politik uang di seluruh Indonesia. Bahkan politisi semakin kreatif dalam menjalankan aksinya, seperti pemberian polis asuransi dan lainnya,” tutur Amir.
Menurut Amir, masalah di 2019 itu berpotensi muncul juga di 2024. Ini terutama karena UU hanya mengatur politik uang untuk bagi pihak yang menjajikannya, sementara penerima uang atau materi tak diataur secara eksplisit di dalam UU tersebut. “Sehingga masyarakat yang menerima merasa tak ada sanksinya. Ini salah satu penyebab praktik politik uang ini marak terjadi. Hal ini bisa membuat pemilu jadi tak sehat; tak seperti yang diharapkan,” sambungnya.
Amir juga menyentil perihal norma di UU sulit diterapkan atau kontradiktif. “Misalnya subjek politik yang bersifat khusus. Ini hanya menyebutkan ‘pelaksana, peserta, dan tim kampanye’—di pasal 278 dan 281, 283. Ini memungkinkan munculnya aktor politik uang yang lain,” pungkas dia.
Selain perihal norma itu, Amir turut mendorong profesionalitas dan integritas penegak hukum. Ia menambahkan bahwa kuantitas penegak hukum juga harus disorot. “Di daerah tertentu, jumlah jaksa yang kurang juga akan berpengaruh pada penegakkan hukum,” katanya.
Amir pun mendesak para aparat penegak hukum agar menjunjung tinggi asas netralistas dalam proses penegakan hukum terkait dugaan tindak pidana pemilu.
“Saya menegaskan agar jaksa yang menangani pidana pemilu untuk tidak melakukan perbuatan-perbutan tercela, yang bisa mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan,” tandas dia.
Lebih lanjut, Amir merekomendasikan berbagai hal terkait penegakkan hukum atas pelanggaran pemilu. Salah satunya yaitu “regulasi pemilu yang jelas dan tegas dalam mengatur rumusan tindak pidana politik uang termasuk sanksi pidana yg maksimal.”
Selain itu, kata dia, “dibutuhkan juga aparat penegak hukum yang berintegritas, memiliki kredibilitas, dan komitmen dalam menjalankan tugas, serta bertanggung jawab. Sentra Gakkumdu tak boleh terinfeksi oleh virus korupsi dan lainnya.”