Opini

Utang Pemerintah Telah Diingatkan BPK Sejak Sebelum Pandemi

Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. Berita Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman, yang mengingatkan pemerintah tentang pengelolaan utangnya sempat viral dua minggu lalu. Apa yang disampaikan sebenarnya bukan pendapat pribadi, melainkan berdasar hasil pemeriksaan BPK.

Pemerintah diwajibkan oleh undang-undang menyampaikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berupa laporan keuangan yang disebut sebagai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Sesuai dengan undang-undang pula, sebelum disampaikan kepada DPR, LKPP disampaikan terlebih dahulu kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk diperiksa. Waktu penyampaian laporan kepada BPK paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir. BPK kemudian harus menyampaikan laporan pemeriksaannya paling lambat enam bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Hasil pemeriksaan BPK itu sendiri dilaporkan dalam beberapa dokumen yang jumlahnya tidak selalu sama tiap tahun, karena adanya laporan tambahan. Empat dokumen laporan utama yang selalu ada, yaitu: a. Ringkasan Eksekutif; b. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang memuat opini; c. LHP atas Sistem Pengendalian Intern; d. LHP Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Dua macam yang terakhir kadang disatukan dalam satu dokumen, sebagaimana LHP atas LKPP 2020 tertanggal 31 Mei 2021.

Laporan tambahan biasanya berupa Laporan Hasil Reviu (LHR). Pada pemeriksaan atas LKPP tahun 2020 terdiri dari: LHR atas Transparansi Fiskal, LHR atas Kesinambungan Fiskal, dan LHR atas Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah Tahun 2020.

Dengan demikian, pemeriksaan BPK atas LKPP sebenarnya cukup luas dan beberapa informasi rinci diberikan dalam berbagai LHP dan LHR. Meski LHP yang memuat opini memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tetap ada berbagai catatan dalam hal pengendalian internal dan kepatuhan atas perundang-undangan. Begitu pula dengan LHR yang memuat cukup banyak penilaian atas pengelolaan keuangan negara, dan biasanya dilengkapi rekomendasi BPK.

Sebagai contoh adalah LHR Kesinambungan Fiskal yang diterbitkan BPK untuk pelaporan tahun 2019 dan 2020. Salah satu fokus utama LHR ini adalah soal pengelolaan utang pemerintah.

Pada LHR Kesinambungan Fiskal tahun 2019, BPK menilai Pemerintah telah menyusun analisis kesinambungan fiskal jangka panjang yang mempertimbangkan skenario-skenario kebijakan fiskal yang akan diambil dan indikator yang dimonitor.

Namun BPK menyebut tentang beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Diantaranya yang terkait langsung dengan pengelolaan utang adalah: a. Analisis keberlanjutan fiskal jangka panjang yang disusun Pemerintah perlu disempurnakan sebagaimana direkomendasikan International Public Sector Accounting Standard Board IPSASB pada Recommended Practice Guide (RPG); b. Pemerintah belum membuat Debt Sustainability Analysis (DSA) yang diantaranya memperhitungkan risiko atas kewajiban kontinjensi; c. Pemerintah belum menyajikan pengungkapan memadai terkait proyeksi kesinambungan fiskal pada LKPP secara khusus.

BPK mengatakan Rasio Utang Terhadap PDB Tahun 2019 sebesar 30,23% masih di bawah batas maksimal sebagaimana ditetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60%.

Namun, BPK menyebut beberapa indikator kerentanan utang yang telah melampaui batas praktik terbaik yang ditetapkan International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR). Indikator yang dimaksud antara lain rasio debt service terhadap penerimaan (38,31% pada Tahun 2019, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35%), rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan (14,10% pada Tahun 2019, melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7-10%) dan rasio utang terhadap penerimaan (244,31% pada Tahun 2019, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167% dan rekomendasi IMF sebesar 90-150%).

LHR Kesinambungan Fiskal tahun 2020 disajikan dalam dokumen yang lebih tebal dan lebih detil dalam besaran variabel ataupun indikator. Reviu atas soalan utang bisa dikatakan lebih jelas dan tegas. Wajar jika kemudian ketua BPK menyampaikannya kepada publik luas secara lebih terbuka dibanding LHR tahun 2019.

Hasil reviu terkait utang pemerintah antara lain menekankan pada dua hal. Pertama, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan Penerimaan Negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang.

Kedua, indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan IDR, yaitu: 1) Rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 – 35%; 2)Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 – 6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7 – 10%; dan 3) Rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 – 167% dan rekomendasi IMF sebesar 90 – 150%.

Kesimpulan LHR Kesinambungan Fiskal secara eksplisit meminta Pemerintah untuk berhati-hati dalam pengelolaan utang. Selain kedua hal tadi, juga disajikan perhitungan BPK atas Indikator kesinambungan fiskal Tahun 2020 sebesar 4,27%. Telah melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators, yaitu di bawah 0%.

*Ekonom

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4  +    =  10