UU Pemilu Dinilai Tak Aplikatif untuk Atasi Mahar Politik
Nasional Politik

Mahar Politik Bakal Merajalela, UU Pemilu Dinilai Lemah

Channel9.id-Jakarta. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjelaskan bahwa perihal “mahar politik” tercantum Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Namun demikian, Kepala Biro Fasilitas Penangan Pelanggaran Pemilu Yusti Erlina mengatakan bahwa UU tersebut tak mengatur pidananya.

“Sehingga pasal terkait ‘mahar politik, yakni pasal 228 dan 242, jadi tak aplikatif,” ujarnya di seminar daring yang digelar oleh Ditjen Politik dan Pemerintahan Kementerian Dalam Negeri, Kamis (9/2).

Baca juga: Kawal Pemilu Bersih, KPU Bangka Barat Lakukan Verifikasi Faktual 1.712 Pendukung Bakal Calon DPD

Oleh karena itu, menurut Yustia, persoalan mahar politik bakal tetap ada menjelang Pemilu 2024 ini. “Apalagi UU-nya masih sama dan bagian itu (mahar politik) tak direvisi,” pungkasnya.

Yustia menekankan bahwa problematika regulasi itu perlu dihadapi dengan berbagai strategi untuk mencegah mahar politik. “Misalnya melakukan sosialiasi bersama antara politik dan kejaksaan,” lanjutnya.

Pada kesempatan itu, Yustia turut menjelaskan bahwa pihaknya mendapati bahwa dari tren pemilu-pemilu sebelumnya, ada berbagai karakteristik mahar politik. Karakteristiknya yaitu: “dilakukan terbatas di kalangan elite partai politik dengan calon; dilakukan secara tertutup; dikenal istilah seperti ‘uang kursi’, ‘uang saksi’, ‘uang operasional’, dan lain-lain; pembayarannya melalui perantara; dan biasaya terungkap jika ada yang dirugikan atau dirugikan oleh mahar politik.”

Sementara itu, Yustia mengatakan bahwa pelaku praktik “politik uang” bisa diancam pidana, termasuk penjara hingga denda. Ini sebagaimana UU Pemilu maupun UU Pemilih Gubernur, Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Sebagai informasi, Yustia turut mengungkapkan hasil putusan pengadilan terkait politik uang. Di Pemilu 2019 didapati ada 67 kasus. Lalu di Pemilihan 2020 ada 31 kasus.

Yustia menjelaskan bahwa ada berbagai hal yang menjadi penyebab suburnya politik uang, termasuk parpol terlalu elitis sehingga “tak mengakomodasi suara akar rumput dan hanya membawa kepentingan elit-elit parpol.” Selain itu, sistem pemilu atau pemilihan terlalu berfokus pada tokoh sehingga berfokus untuk publikasi personal.

“Adapun modus uang politik itu termasuk paket sembako, kupon belanja, uang sedekah, sumbangan pembangunan hingga token listrik,” lanjut dia.

Lebih lanjut, Yusti menekankan bahwa ada berbagai hal yang harus dilakukan untuk mencegah praktik mahar politik dan politik uang. Ini termasuk “penguatan masyarakat sipil melalui pendidikan politik,” imbuhnya.

“Selain itu, perlunya mendorong demokratisasi partai politik, mendorong politik gagasan, penyusunan kerangka hukum pemilu yang baik, mendorong kelembagaan penyelenggaaan pemilu yang transparan dan independen, hingga penegakan hukum yang adil,” lanjut Yustia.

Namun begitu, Yustia mengatakan bahwa Bawaslu belum bisa melaksanakan pelatihan terhadap penyidik dan kejaksaan. Pasalnya, masih adanya proses konsolidasi tentang program kerja, yang juga dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat kegiatan tersebut sudah bisa dilaksanakan untuk mengantisipasi potensi-potensi pelanggaran, terutama pada kampanye,” tandasnya.

LH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3  +  5  =