Channel9.id-Jakarta. Dalam rangka mengembangkan soft skills, mematangkan kepribadian guna menumbuhkan jiwa kebangsaan dan cinta tanah air, serta rasa percaya diri bagi mahasiswa perguruan tinggi di Jawa Timur, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur serta beberapa wilayah di Indonesia lainnya, Ditjen Dikti Ristek, Kemendikbud Ristek menyelenggarakan program Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa Tingkat Lanjut (LKMM-TL) Tahun 2023, yang dihadiri mahasiswa terpilih di wilayah provinsi di Indonesia,
Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Karjono dalam kesempatan tersebut memberikan ceramah agar mahasiswa jadi garda terdepan dalam mengimplementasikan Nilai Pancasila di era kebijakan pemerintah “Merdeka Belajar, Kampus Merdeka” dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
Karjono memperkenalkan Salam Pancasila, yang digagas oleh Presiden Kelima Megawati Soekarnoputri. Salam ini merupakan salam kebangsaan yang diadopsi dari pekik “Merdeka” yang ditetapkan oleh Bung Karno melalui Maklumat pada tanggal 31 Agustus 1945.
“Salam Pancasila bukan pengganti salam keagamaan, melainkan sebuah salam kebangsaan yang menyatukan,” jelasnya saat memberikan pencerahan kepada perwakilan mahasiswa yang terpilih di Indonesia untuk mewakili wilayahnya, Kamis (07/09/2023).
Mengawali paparannya, Karjono mengingatkan bahwa tidak hanya terbatas pada kecerdasan akademis, melainkan juga mencakup bagaimana kita menjalani kehidupan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai panduan, termasuk nilai-nilai religius yang memberikan kekuatan dan makna dalam kehidupan kita.
“Kecerdasan tidak hanya terbatas pada aspek IPTEK, melainkan juga mencakup IPTAK, yang merujuk pada budi pekerti dan kecerdasan dalam dimensi relijius,”tuturnya.
Menurutnya, demokrasi didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan penting, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, didasarkan pada suara mayoritas yang diberikan oleh masyarakat dewasa secara bebas. Hal ini mencerminkan prinsip-prinsip dasar demokrasi, di mana kebebasan berbicara dan hak suara masyarakat menjadi inti dari sistem ini.
Dalam konteks demokrasi, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, serta hak untuk menyatakan pendapatnya. Ujarnya.
Tidak lupa, alumni S3 Universitas Padjajaran itu mencontohkan mengenai proses demokrasi dalam sejarah Indonesia. “Saat pembentukan dasar negara dan perumusan Sila pertama Pancasila menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa,” adalah contoh nyata bagaimana demokrasi digunakan sebagai alat untuk menyatukan bangsa Indonesia yang memiliki keragaman agama,” jelasnya.
Proses tersebut menunjukkan bahwa demokrasi adalah alat yang kuat untuk mencapai konsensus dan kesepakatan dalam mengelola perubahan yang signifikan dalam negara yang plural seperti Indonesia.
“Dengan demikian makna Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berketuhanan, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, mempersatukan Indonesia serta bertujuan mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,”ujarnya.
Karjono juga mengungkapkan keprihatinannya bahwa setelah 25 tahun pasca reformasi, masih ada yang muncul pernyataan di media sosial yang ingin berkiblat Ideologi lain dengan mengadopsi ideologi yang mirip dengan yang diterapkan di Afghanistan dan Suriah. Beliau menekankan, “Negara-negara tersebut hanya memiliki satu agama, enam suku atau kurang dari sepuluh, namun terpecah belah, bahkan negaranya hilang atau bubar, sementara Indonesia, dengan keragaman suku, ras, dan agama, tetap teguh berdiri karena memiliki Ideologi Pancasila sebagai perekat yang kuat.”
Karjono juga menjelaskan bahwa setelah reformasi, ada beberapa aspek yang mengalami pelemahan, dan salah satu yang sangat mencolok adalah di dunia pendidikan, di mana mata ajar dan mata kuliah Pancasila telah dihilangkan.
“Misalnya, TAP MPR Nomor II Tahun 1978 tentang Eka Pancakarsa atau P4 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kemudian satu tahun setelahnya Lembaga BP7 dibubarkan, dan yang sangat memprihatinkan adalah penggantian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menghilangkan mata ajar atau mata kuliah Pancasila. Ini adalah situasi yang sangat memprihatinkan,”katanya.
Karjono menegaskan, melalui program Merdeka Belajar, Kampus Merdeka yang digagas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek, mahasiswa diberikan kebebasan untuk berekspresi dan berinovasi.
Karjono menekankan semangat ini adalah langkah konkret menuju visi “kampus benteng Pancasila.” Mahasiswa, sebagai agen perubahan masa depan, memiliki peran penting dalam mempertahankan dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila di lingkungan kampus.
Baca juga: BPIP Optimalkan PIP dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi melalui Kampus Merdeka
“Dengan kebebasan berekspresi dan inovasi, mereka dapat menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas dan kedaulatan Pancasila sebagai ideologi negara,” tandasnya.