Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Program BioPertamax (E5) pada tahun 2006 seharusnya bisa menjadi tonggak awal industrialisasi bioetanol Indonesia. Semua unsur dasarnya ada, regulasi ada, dan dukungan teknologi sudah tersedia. Tapi ia tumbang — bukan karena kita tidak mampu, melainkan karena benturan kepentingan perdagangan bensin impor jauh lebih besar dari semangat diversifikasi energi.
Kita perlu bicara ini terus terang.
Dulu, etanol fuel grade (≥99,5%) diproduksi dari pabrik gula, termasuk industri kecil dan BUMN agro. Produk dipasarkan di SPBU Jakarta, Surabaya, Medan dengan label BioPertamax. Dan secara filosofis — ini bukan inisiatif euforia. Ini inline dengan Inpres No. 1 Tahun 2006. Artinya, negara pernah sungguh ingin membuat biofuel jadi sumber energi nasional.
Namun, 2009 program dihentikan dengan dalih “ketersediaan FGE tidak mencukupi dan tidak konsisten.” Dalih ini terdengar teknis. Tapi ini bukan masalah teknologi; ini masalah pilihan ekonomi-politik.
Fuel grade ethanol adalah barang yang bisa ditingkatkan kualitasnya dengan investasi dehidrasi. Infrastruktur blending juga bisa dibangun. Pertanyaannya: siapa yang mau membiayai — dan siapa yang kehilangan pendapatan kalau etanol masuk 5% saja ke bensin nasional?
Disinilah inti masalahnya.
Pada era itu, importasi bensin RON 92–95 dari Singapura adalah salah satu jalur rente terbesar. Jika 5% volume bensin diganti etanol, maka volume impor turun. Kalau impor turun, margin trader impor juga turun. Anda bisa menebak sisanya: tekanan terhadap program biofuel menguat, bukan melalui argumen politik, tetapi melalui “teknikalitas”. Seolah-olah ini masalah kadar air, bukan masalah struktur kepentingan.
Kedua, pemerintah tidak menyiapkan mekanisme subsidi bioetanol. Bensin disubsidi. Etanol tidak. Pertamina tidak mau menanggung selisih harga. Maka pasar biofuel dibuat tampak “tidak layak”.
Ketiga, tidak ada orkestrasi antar K/L. BUMN agro tidak pernah diberi mandat formal untuk memasok FGE. Sementara Pertamina tidak mau investasi dehidrasi karena dikategorikan bukan “core business”.
Maka seluruh ekosistem biofuel waktu itu adalah ekosistem yang sengaja tidak pernah disempurnakan.
Dan program pun gagal.
Hari ini, kita ada di momentum baru. Etanol fuel grade kita sudah bisa dibuat secara industri (Enero, SGN, PG Rajawali II). Pertamina Green Energy Hub Cilacap sudah mengarah ke co-processing bioavtur dan E5–E10. Menteri ESDM dan tim sedang dorong bauran etanol naik.
Ini momen emas.
Tapi — jangan lupa — kegagalan masa lalu tidak terjadi karena teknologi. Ia terjadi karena ketiadaan desain industrialisasi dan kuasa rente impor fosil yang lebih dominan dari rasionalitas transisi energi.
Pertanyaannya sekarang:
apakah kita belajar dari 2006?
Jika pemerintah tidak membuat ekosistem nasionalnya — dari harga referensi, skema insentif, penugasan BUMN agro, hingga mekanisme pembiayaan — maka sejarah BioPertamax akan berulang. Dengan spanduk berbeda, logo berbeda, dan konferensi pers berbeda — tapi dengan kegagalan yang sama.
Ketika Indonesia pada KTT APEC 2025 berbicara soal transisi hijau yang adil, maka “adil” itu juga harus berlaku untuk pelaku bioenergi domestik. Kemandirian tidak lahir dari presentasi policy, tetapi dari keberanian mengubah struktur rente.
2006 adalah bab ketergantungan.
2025 harus menjadi bab kemandirian.
Karena teknologi bukan masalah — keberanian politik energi lah yang menentukan.
Baca juga: Transisi Energi Harus Berpihak pada Petani
*Wakil Ketua Umum DNIKS





