Channel9.id-Jakarta. Algoritma media sosial mendorong candu terhadap rangsangan dari konten, tidak selalu konten baik, mendorong gejala doomscrolling.
Media sosial membawa banyak dampak baik bagi masyarakat dari keterhubungan antar masyarakat sampai peningkatan ekonomi penggunanya. Namun dibalik manfaat selalu ada bahaya yang mengintai pengguna media sosial dari luar dan dalam diri. Bahaya dari luar mencakup ancaman kriminalitas.
Sedangkan bahaya dari dalam mencakup keterbatasan manusia menghadapi arus informasi sepanjang hari. Ditambah lagi, arus informasi yang banyak itu banyak mencakup informasi yang memantik kecemasan bahkan ketakutan bagi penggunanya.
Hal ini diakui oleh kepala kesehatan masyarakat Amerika, Vivek Murthy yang sebut layanan media sosial mengembangkan bayangan tidak realistic bagi kaum muda sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpuasan diri. Murthy menyebutkan bahwa 95% remaja di negara Paman Sam sendiri menghabiskan waktu 3.5 jam per harinya.
Meskipun demikian, bahaya media sosial terhadap kesehatan mental penggunanya tidak terbatas pada kaum muda. Penggunaan berlebihan media juga jadi ancaman bagi penderita gangguan kecemasan, gangguan panik, dan berbagai gejala kesehatan mental lainnya.
Salah satu hal yang dikenali jadi penyebab potensi buruk media sosial adalah kebiasaan yang dikenal dengan doomscrolling, perilaku konsumsi media sosial secara berlebihan. Annelise Depoux, peneliti asal Kanada, menyebutkan bahwa fenomena panik di sosial media muncul secara besar di masa pandemi covid-19.
Dilansir dari Verywellmind, Tess Brigham, praktisi psikolog terapis, menyebutkan bahwa perilaku doomscrolling merujuk pada tindakan scrolling media sosial tanpa memperhatikan dampaknya terhadap diri.
Algoritma media sosial disebut menggabungkan konten-konten baik dan yang memantik kecemasan. Alasan utama pengguna media sosial terus lakukan scrolling adalah berharao untuk menemukan konten yang baik tersebut meskipun melalui banyak konten buruk.
Brigham menggarisbawahi potensi bahaya tindakan doomscrolling terutama bagi penderita gangguan kesehatan mental, seperti penderita variasi gejala kecemasan.
Pakar psikolog itu menyebutkan bahwa semakin cemas pengguna media sosial akan semakin besar kemungkinannya dia untuk berusaha mengontrol dirinya. “Kita berasumsi bahwa dengan banyak tahu (well-informed), kita akan dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi hal buruk,” ucap dia. Namun hal tersebut disebut justru menciptakan kecemasan dan ketakutan.
(FB)