Opini

Waspadai Pembayaran Jasa Asing Yang Makin Besar

Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. Transaksi Berjalan (Current Account) masih mengalami defisit yang lebar, mencapai 30,42 miliar dollar pada tahun 2019. Defisit selama 8 tahun terakhir mendapat perhatian serius dari Jokowi. Beliau sering mengeluh hingga geram terhadap soalan yang krusial dalam perekonomian Indonesia ini. Pada pertengahan 2018, Jokowi sempat memberikan waktu satu tahun kepada para pembantunya untuk mengatasi masalah tersebut. Memulai era keduanya, Jokowi pun masih terus mengingatkan beberapa menteri terkait agar fokus pada soalan ini.

Meski telah menjadi wacana publik yang cukup luas, istilah Transaksi Berjalan belum sepenuhnya dimengerti. Wacana diskusi cenderung terbatas pada salah satu bagian saja dari persoalannya, dan kadang menimbulkan “misleading”. Seolah hanya terkait ekspor dan impor barang, sehingga terfokusnya pada keduanya.

Salah satu yang kurang memperoleh perhatian serius adalah neraca Jasa-Jasa (Services) dalam Transaksi Berjalan, yang mencakup 12 kelompok jasa. Yang dicatat adalah berbagai transaksi jasa antara penduduk Indonesia dengan nonresiden. Baik yang bersifat ekspor atau menjual dan menghasilkan devisa. Maupun yang bersifat impor, memakai atau membeli yang berakibat pengeluaran devisa.

Neraca Jasa-Jasa Indonesia selalu mengalami defisit, dengan nilai yang berfluktuasi. Defisitnya pada tahun 2019 mencapai USD7,8 miliar. Penduduk Indonesia membayar atas jasa pihak asing sebanyak USD39,4 miliar, dan sebaliknya hanya menerima sebesar USD31,6 miliar, selama satu tahun itu.

Kelompok jasa yang mengalami defisit pada 2019 adalah: Jasa Transportasi, Jasa telekomunikasi, komputer, dan informasi, Biaya penggunaan kekayaan intelektual, Jasa asuransi dan dana pensiun, Jasa keuangan, Jasa bisnis lainnya, dan Jasa pemeliharaan dan perbaikan.

Penyumbang defisit terbanyak pada tahun 2019 adalah Jasa Transportasi, mencapai USD7,7 miliar. Berikutnya adalah: Jasa telekomunikasi, komputer dan informasi (USD1,84 miliar), Biaya penggunaan kekayaan intelektual (USD1,63 miliar), dan Jasa bisnis lainnya (USD2,06 miliar).

Jasa transportasi memang selalu defisit dengan nilai fluktuatif. Hampir selalu menjadi penyumbang defisit terbesar setiap tahunnya. Disumbang oleh defisit transportasi barang (Freight) sebesar USD5,96 miliar dan transportasi penumpang (Passenger) sebesar USD1,65 miliar pada 2019.

Nilai defisit Transportasi Barang berfluktuasi selama 15 tahun terakhir, yang berhubungan erat dengan tingkat kegiatan ekspor impor barang. Sementara itu, defisit Transportasi Penumpang telah meningkat kembali selama tiga tahun terakhir (2017-2019). Sebelumnya sempat membaik atau turun selama tiga tahun (2014-2016). Dalam konteks ini, perlu diperiksa apakah strategi pembangunan pelabuhan dan bandara yang cukup masif telah memperhitungkannya.

Fenomena lain yang perlu mendapat perhatian khusus, dianalisis dan diambil kebijakan yang tepat adalah berkenaan dengan kelompok Jasa telekomunikasi, komputer dan informasi. Defisitnya terus meningkat selama lima tahun terakhir. Padahal sebelum tahun 2012, kondisinya cenderung surplus meski dengan nilai yang terbilang kecil. Defisitnya pun membengkak sekitar 13 kali lipat, dari USD149 juta (2012) menjadi USD1,84 miliar (2019).

Perlu diingat bahwa sektor tersebut merupakan sektor yang akan terus tumbuh seiring dengan era digital. Jika tidak ada insentif pada pengembangan jasa telekomunikasi, komputer dan informasi dalam negeri, maka kontribusinya pada defisit transaksi berjalan akan terus meningkat. Wacana akan mendorong pengembangan industry 4.0 mesti memperhitungkan aspek ini.

Penyumbang defisit lainnya adalah biaya penggunaan kekayaan intelektual yang mencapai USD1,63 miliar pada tahun 2019. Penduduk Indonesia membayar biaya atas hak asing sebesar USD1,80 miliar, dan hanya menerima sebesar USD174 juta.  Nilai defisitnya memang sedikit lebih kecil dari tahun 2010.

Sebagian kelompok jasa mencatatkan surplus pada 2019. Yaitu: Jasa Perjalanan, Jasa manufaktur, jasa personal, kultural dan rekreasi dan jasa konstruksi.

Penyumbang surplus terbesar adalah jasa perjalanan. Jasa Perjalanan memang selalu mengalami surplus sejak dahulu. Pada tahun 2004 tercatat surplus USD938 juta. Pada tahun 2010 sempat menurun menjadi USD563 juta. Kemudian meningkat kembali hampir 10 kali lipat dalam sembilan tahun terakhir, hingga mencapai USD5,59 miliar di 2019.

Surplus jasa perjalanan selama ini terutama dihasilkan dari kenaikan jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia. Jumlahnya cenderung meningkat dalam 4 tahun terakhir, hingga mencapai lebih dari 10 juta orang tiap tahunnya. Namun, pada saat bersamaan, kunjungan penduduk Indonesia ke luar negeri juga terus meningkat, meskipun dengan lebih lambat.

Dalam konteks ini, sudah tepat jika industri pariwisata menjadi salah satu prioritas pengembangan. Diperkuat lagi oleh fakta surplusnya jasa personal, kultural dan rekreasi, meski dalam nilai yang masih kecil. Akan jauh lebih baik jika strateginya beriringan dengan pengembangan industri jasa transportasi, sehingga kontribusinya menjadi optimal terhadap transaksi berjalan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa ketergantungan Indonesia pada jasa-jasa asing masih terus berlangsung, bahkan cenderung meningkat. Perbaikan Transaksi Berjalan tak dapat hanya dengan upaya yang terfokus pada ekspor atau transaksi barang saja. Perbaikan neraca jasa adalah suatu keniscayaan.

*Chief Economist Institut Harkat Negeri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

11  +    =  13