Channel9.id, JAKARTA — Pemikir kebangsaan Prof. Yudi Latif, MA, Ph.D menegaskan bahwa pendidikan merupakan “sandaran terakhir” ketika sebuah masyarakat dilanda kekacauan, terutama di tengah derasnya disrupsi digital dan kecerdasan buatan (AI).
Hal itu disampaikan dalam Seminar Nasional: Desain Ulang Pendidikan Indonesia: Strategi dan Inovasi Menghadapi Gelombang Disrupsi Digital dan AI di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Rabu (26/11/2025). Acara tersebut diselenggarakan Yayasan Rawamangun Mendidik (YRM) berkolaborasi dengan Universitas Negeri Jakarta dan Ikatan Alumni UNJ.
Yudi, yang kini memimpin Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia—mengawali paparannya dengan mengingatkan bahwa sejarah modern Indonesia tidak lahir dari ruang kosong. Pergerakan kemajuan bangsa, menurutnya, justru dimotori oleh kaum guru yang menjadi pendiri tradisi intelektual sejak era sekolah guru (kweekschool) hingga lembaga keguruan pasca kemerdekaan.
“Kalau sering kita mengingat STOVIA, kita lupa bahwa yang menggerakkan kemajuan pertama di Hindia Belanda adalah sekolah keguruan. Sistem pendidikan guru yang dirawat dengan baik menjadikan Belanda memiliki standar pendidikan terbaik di Eropa hingga sekarang,” kata Yudi.
Yudi menyebut masyarakat Indonesia kerap terjebak dalam sikap “gumun”—kagum berlebihan—dan FOMO (fear of missing out) terhadap teknologi terbaru. Padahal tidak semua warisan pendidikan masa lalu harus ditinggalkan.
“Metode, pendekatan, dan teknologi boleh berubah. Tapi prinsip fundamental pendidikan tidak berubah sepanjang hayat: membentuk manusia seutuhnya,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa manusia belajar melalui kebudayaan, bukan sekadar naluri. Karena itu pendidikan harus terus menanamkan nilai etis, estetis, dan logis yang memberi makna bagi kehidupan.
Literasi Dasar jadi Benteng di Era AI
Merespons kehadiran AI, Yudi menekankan bahwa teknologi kecerdasan buatan tidak boleh menghilangkan peran kecakapan dasar—literasi, kemampuan berpikir kritis, dan pengetahuan fundamental.
“AI memang mempermudah. Saya mencari sejarah huruf Palawa untuk menelusuri akar bahasa Indonesia, bukunya sulit ditemukan, tapi AI membantu. Namun tanpa pengetahuan dasar, kita bisa tersesat,” tuturnya.
Ia mencontohkan Jepang dan Tiongkok, dua bangsa yang tetap menjaga kekuatan literasi meski memimpin inovasi teknologi.
Trikon: Bergerak Maju dengan Berjejak pada Akar Budaya
Yudi mengingatkan pentingnya prinsip trikon dari konsep Ki Hajar Dewantara: kontinyu, konvergen, dan konsentris. Bahwa gerak kemajuan justru harus berpijak pada kekuatan budaya sendiri—sebagaimana Eropa dengan Renaissance atau Jepang dengan Restorasi Meiji.
Merujuk penelitian sejarah, Yudi menyebut hingga abad ke-17 Indonesia merupakan salah satu episentrum inovasi global—terutama di bidang kemaritiman, arsitektur, dan teknologi perkapalan.
“Perahu bercadik, jung Majapahit, sampai pinisi—itu inovasi luar biasa. Arsitektur candi dengan batu andesit dipotong presisi. Bahkan pembangunan Angkor Wat mendatangkan ahli dari Jawa,” jelasnya.
Namun kejayaan itu terhenti ketika sistem tanam paksa mencabut bangsa ini dari kekuatan utamanya.
Menurut Yudi, Indonesia tidak harus meniru Jepang dalam industri otomotif atau negara lain secara mentah-mentah. Kebangkitan dapat dimulai dari sektor yang sesuai dengan kekuatan alam dan budaya sendiri: kemaritiman, energi panas bumi, pangan, hingga teknologi terbarukan.
“Mobil listrik jangan hanya jadi tren. Kalau listriknya masih batubara, itu sama saja. Kita bisa mulai dengan panel surya, energi bersih. Yang penting kita menentukan pilihan sendiri, tidak terombang-ambing arus global,” tegasnya.





