Opini

140 Tahun Inggris di Bengkulu: Narasi yang hilang dari Sejarah Nasional Indonesia

Oleh: Eva Riana Rusdi

Channel9.id – Jakarta. Ketika berbicara tentang kolonialisme Eropa di Nusantara, narasi yang dominan selalu berputar pada VOC dan Belanda. Historiografi sejarah nasional Indonesia hanya mencatat kehadiran Inggris selama lima tahun di Jawa pada masa Thomas Stamford Raffles (1811-1816). Padahal, ada satu wilayah yang dikuasai Inggris hampir 140 tahun lamanya: Bengkulu. Dari 1685 hingga 1824, East India Company (EIC), kompani dagang Inggris, menancapkan kekuasaannya di pantai barat Sumatera ini, namun periode krusial ini nyaris tidak tersentuh dalam pembelajaran sejarah kita dan narasi besar Sejarah Nasional Indonesia.

EIC versus VOC di Nusantara
Persaingan dimulai pada 1682 ketika EIC kalah dalam perebutan Bantam (Banten) dari VOC. Tiga tahun kemudian, pada 1685, Inggris mendarat di Bengkulu dengan membentuk pos perdagangan pertama di bawah pimpinan Ralph Ord. Langkah ini bukan sekadar pencarian alternatif, tetapi strategi balasan untuk mematahkan monopoli VOC atas perdagangan lada Sumatera.

Pada 1714, EIC membangun Fort Marlborough sebagai benteng pertahanan sekaligus pusat administrasi. Benteng ini menjadi simbol kekuatan Inggris di pantai barat Sumatera, berhadapan langsung dengan kekuasaan VOC di Padang. Dua kekuatan kolonial ini kemudian terlibat dalam perang dagang yang sengit, saling merebut kontrol atas jalur perdagangan lada dari pedalaman Sumatera.
VOC merespon dengan membangun pos-pos perdagangan di sekitar Bengkulu, mencoba mengepung kekuatan EIC. Namun Inggris memiliki keunggulan geografis, Bengkulu menghadap langsung ke Samudera Hindia, memberikan akses perdagangan internasional tanpa harus melewati selat-selat yang dikontrol Belanda. Persaingan ini berlangsung hampir 140 tahun, jauh melampaui konflik kolonial manapun di Nusantara. Kedua pihak saling menguras sumber daya, membangun aliansi dengan penguasa lokal, dan berperang memperebutkan setiap inci wilayah penghasil lada.
Dinamika Politik yang Mengubah Peta Kolonial

Berbeda dengan pendekatan VOC yang bertumpu pada sistem monopoli ketat, EIC di Bengkulu mengembangkan strategi politik yang lebih fleksibel. Pada 1760, Bengkulu resmi diangkat menjadi Presidensi ketiga EIC setelah Madras dan Bombay, menunjukkan pentingnya wilayah ini dalam strategi Asia Tenggara. Keputusan ini mengubah Bengkulu dari sekadar pos perdagangan menjadi pusat administratif dengan kewenangan politik yang luas.

EIC membangun sistem aliansi dengan kerajaan lokal melalui perjanjian protektorat. Pada 1714, mereka menandatangani kontrak dengan Pangeran Selebar, yang memberikan hak monopoli perdagangan lada. Pola ini kemudian direplikasi ke berbagai kerajaan kecil di pedalaman Bengkulu seperti Muko-muko, Lebong, dan Rejang. Strategi ini menciptakan jaringan politik yang kompleks, di mana EIC tidak hanya berperan sebagai pedagang tetapi juga arbiter dalam konflik antar-kerajaan lokal.

Yang menarik, beberapa penguasa lokal bahkan aktif mengundang EIC untuk mengimbangi tekanan ekspansif VOC dari utara. Sultan Inderapura pada 1695 secara eksplisit meminta perlindungan Inggris ketika Belanda mulai memperluas pengaruh dari Padang. Dinamika ini membuktikan bahwa peta politik kolonial bukan hasil dari dominasi sepihak Eropa, melainkan produk dari kalkulasi politik lokal yang elegan dalam menghadapi persaingan kekuatan asing.

Traktat London 1824: Momen Bersejarah yang Terlupakan

Negosiasi dimulai pada 1823 ketika kedua pihak menyadari bahwa persaingan berkepanjangan di Nusantara menguras sumber daya tanpa memberikan keuntungan optimal. George Canning dari pihak Inggris dan Baron Fagel mewakili Belanda memulai perundingan rahasia di London. Pada 17 Maret 1824, kedua delegasi menandatangani Anglo-Dutch Treaty yang mengakhiri 140 tahun rivalitas di Asia Tenggara.
Inti kesepakatan adalah politik territorial (pembagian wilayah kekuasaan) yaitu Inggris mendapat kontrol penuh atas Semenanjung Melayu dan Singapura, sementara Belanda menguasai seluruh Nusantara termasuk Bengkulu.

Thomas Stamford Raffles (1818-1824), yang saat itu menjadi Gubernur Bengkulu, awalnya menentang keras penyerahan wilayah tersebut. Namun perhitungan strategis London lebih memprioritaskan Singapura sebagai gerbang perdagangan Cina-India. Keputusan ini bukan sekadar transaksi teritorial biasa. Raffles akhirnya menyadari bahwa Inggris perlu mencari cara untuk menjadi penguasa dominan di Asia Tenggara dengan membangun pelabuhan baru di Selat Malaka. Perhitungan strategisnya terbukti, Singapura kemudian berkembang menjadi salah satu pelabuhan tersibuk dunia, sementara Bengkulu menjadi bagian dari sistem kolonial Hindia Belanda.

Proses serah terima berlangsung pada November 1824. Residen terakhir EIC, John Prince, menyerahkan Fort Marlborough kepada Komisaris Belanda, Merkus. Sekitar 3.000 personel EIC dan keluarga mereka dievakuasi ke Penang dan Madras. Peristiwa ini menandai berakhirnya era multinasional kolonial di Nusantara, digantikan oleh hegemoni tunggal Belanda. Ironisnya, keputusan yang mengubah peta geopolitik regional ini nyaris tidak tercatat dalam historiografi Indonesia, padahal dampaknya sangat menentukan pembentukan wilayah Indonesia modern.

Urgensi Penulisan Ulang Sejarah Nasional

Absennya narasi Bengkulu dalam historiografi nasional menciptakan lubang besar dalam pemahaman kita tentang kolonialisme di Nusantara. Kita kehilangan gambaran utuh tentang bagaimana persaingan antar-kekuatan Eropa membentuk peta politik regional. Periode 140 tahun EIC di Bengkulu menunjukkan bahwa kolonialisme di Nusantara tidak monolitik dan tidak hanya didominasi satu kekuatan.

Lebih penting lagi, pengalaman Bengkulu memperlihatkan bagaimana wilayah-wilayah pinggiran memainkan peran krusial dalam strategi kolonial besar. Bengkulu bukan sekadar pos perdagangan terpencil, tetapi bagian integral dari pergulatan geopolitik Asia Tenggara abad ke-18 dan awal abad ke-19. Sudah saatnya historiografi Indonesia melampaui narasi yang Jawa-sentris dan VOC-sentris.

Mengintegrasikan sejarah Bengkulu akan memberikan perspektif yang lebih kaya tentang kompleksitas kolonialisme di Nusantara. Ini bukan hanya soal melengkapi catatan sejarah, tetapi juga soal memahami akar-akar pembentukan Indonesia modern yang sesungguhnya.

Sejarah Bengkulu mengajarkan bahwa Nusantara bukanlah wilayah yang pasif menerima dominasi kolonial, tetapi arena dinamis tempat berbagai kekuatan berinteraksi, berkompetisi, dan bernegosiasi. Saatnya narasi ini mendapat tempat yang layak dalam sejarah nasional kita.

Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia – Rafflesia Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  60  =  62