Opini

Ketegangan Di Natuna, Antara Menjaga Tanpa Provokasi Sembari Menekan Diplomasi

Oleh Rudi Andries, Pengamat Geo Strategic/ Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LAPEKSI)

Mencermati ketegangan yang sedang terjadi di perairan laut Natuna Utara sekarang ini, baiklah kita mencermati bagaimana hal yang sama pernah terjadi antara Vietnam dan Tiongkok. Ketegangan dua negara itu hampir saja membuat investor China di Vietnam lari pulang kampung setelah terjadi kerusuhan anti China pada tahun 2014.

Namun, ketegangan dan kekerasan dua negara itu dengan cepat segera reda. Ini terjadi ketika mereka sepakat menempatkan kerjasama ekonomi antar dua negara lebih penting ketimbang isu keamanan dan politik Laut China Selatan (LCS).

Padahal saling klaim teritori di LCS membuat hubungan kedua negara cenderung tidak stabil dan dapat dikatakan sebagai hubungan “love and hate”. Realitas ini cenderung menahan kedua negara menuju konflik terbuka.

Vietnam merupakan mitra dagang Tiongkok baik hubungan bilateral maupun melalui CAFTA. Dalam industri wisata  keindahan alam, Vietnam menjadi magnet tersendiri bagi turis asing berkewarganegaraan Tiongkok. 

Demikian pula hubungan Filipina-Tiongkok mengenai LCS mengalami pasang surut terutama di beberapa pulau di kepulauan Spratly. Pemerintah Filipina-Tiongkok sepakat menjalin kerjasama guna mengurangi ketegangan antara kedua negara dan mencapai kesepakatan lain.

Contohnya seperti kerjasama latihan penyelamatan pantai pada tahun 2004 antara Departemen  Keamanan Maritim Tiongkok dengan Penjaga Pesisir Filipina. Usaha tersebut ditindaklanjuti oleh perusahaan minyak lepas pantai nasional Tiongkok dan perusahaan minyak nasional Filipina dengan menandatangani “Agreement for Joint Marine Seismic Undertaking on Certain Areas in the South China Sea” pada 1  September 2004.

Tahun 2005, Vietnam ikut serta dalam kerjasama tiga serangkai dengan Tiongkok Filipina. Perusahaan minyak dari tiga negara menandatangani “Agreement for Joint marine Seismic Undertaking on Certain  Areas in the South China Sea” pada Maret 2005.

Indonesia juga pernah berinisiatif menyelenggarakan Workshop Pengelolaan Potensi Konflik di LCS (The Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea) pada tahun 1992, yang diikuti oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Tujuan dilakukannya  Workshop tersebut lebih untuk mengalihkan potensi konflik  dengan membangun sikap saling percaya (confidence building) diantara pihak-pihak yang bersengketa. Sejak awal workshop LCS tidak dimaksudkan untuk membicarakan dan menyelesaikan sengketa, tetapi untuk menurunkan tingkat potensi konflik menuju identifikasi dan usaha pemanfaatan peluang-peluang kerjasama.

Indonesia telah melakukan MoU on Maritime Cooperation dengan Tiongkok, yang kemudian ditindaklanjuti dengan the Maritime Cooperation Committee between China and Indonesia pada bulan Maret 2012 dan yang pertama kalinya dilakukan pertemuan di Beijing  pada tanggal 6 Desember 2012.

Dalam pertemuan itu  kedua belah pihak setuju perlu adanya kerjasama maritim,  kerangka kerjasama strategis, membangun komite kerjasama Maritim Tiongkok dengan Indonesia, serta pendanaan kerjasama  maritim.

Bahkan terakhir kali sudah semakin mengerucut tentang rencana kerja sama dengan Tiongkok dalam bidang penanaman modal asing Tiongkok di Pulau Natuna untuk proses pengalengan ikan. Namun demikian, terlihat cara pandang pemerintah Indonesia belum satu kesatuan, karena pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, terlihat adanya pertentangan internal yang berasal dari Kementerian Pertahanan, Mabes TNI dan DPR, yang melihat lebih dari perspektif kedaulatan teritorial dan perbatasan Indonesia.

Nah, mengawali periode kedua Presiden Jokowi, dengan formasi menteri-menteri baru di lingkungan Polhukam dan KKP, ketegangan yang diakibatkan karena kesengajaan dari pihak Tiongkok terjadi lagi di Laut Natuna Utara.

Pertanyaannya ada maksud apa dari pihak Tiongkok dibalik kesengajaan tersebut?

Dituntut kejelian untuk mencermati dan mencari tahu penyebab dan jawaban yang tepat serta bagaimana mengatasi persoalan dengan baik tanpa mengeluarkan tembakan senjata adalah menjadi tantangan bagi kepiawaian pemerintah dalam menjalankan diplomasi langsung dengan Beijing sembari menggelar kekuatan laut terpadu secara pas dan terukur di wilayah ketegangan tersebut.

Edy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6  +  4  =