Channel9.id-Jakarta. Masalah gagal tumbuh pada anak atau stunting harus dicegah. Pasalnya, selain memengaruhi kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang, stunting akan berdampak seumur hidup bagi penderitanya.
Qonita Rachmah, Co-Founder @KlinikMPASI dan @AhliGiziID, mengatakan bahwa anak yang stunting akan mengalami penurunan kognitif atau kecerdasan, yang bisa berujung pada kemiskinan. Selain itu, mereka juga berisiko terkena penyakit degeneratif, seperti diabetes, stroke, dan jantung koroner.
“Ini masalah yang bisa dibawa seumur hidup,” pungkas Qonita, Kamis (9/9).
Adapun potensi stunting bisa dilihat dari sejumlah tanda. Ia mengatakan, di antaranya yaitu anak makan dalam jumlah kecil, berat badan tidak naik dalam dua bulan—bahkan menurun, terutama di usia 1 sampai 2 tahun.
Lantas bagaimana cara mencegah stunting?
Menurut Qonita, menambahkan stunting bisa menjadi siklus yang berkepanjangan bila tak segera diatasi. “Maka dari itu, kita harus putuskan siklusnya supaya bisa mengurangi angka stunting,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa pencegahan stunting bisa dimulai dengan pemenuhan gizi ibu saat kehamilan. Selanjutnya, kata dia, perhatikan pemuhan gizi anak di seribu hari pertama kehidupannya. “Karena di masa ini, pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat cepat. Masa ini disebut golden periode, di mana fase ini tidak bisa dikembalikan, tak bisa diperbaiki. Kalau kurang, ya sudah kurang—itu menetap. Jadi, memang periode itu harus dioptimalkan,” jelas Qonita.
“Kita, sebagai orang tua, punya tanggung jawab moral untuk memberi makanan kepada anak sesuai kebutuhan gizinya,” tandas Qonita. Ia juga berpesan agar orang tua terus memantau tinggi dan berat badan anak.
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa pencegahan stunting juga perlu dukungan dari sumber daya, teknis, dan komitmen politik yang berkelanjutan—seperti yang dilakukan pemerintah Thailand.
“Kita bisa belajar dari Thailand yang bisa menurunkan angka stunting hingga 10,5% pada 2016 lalu,” sambung Qonita, yang sempat tinggal di Thailand beberapa tahun.
Ia menjelaskan, di Thailand, pencegahan stunting dilakukan dengan pendekatan berbasis komunitas di populasi yang berisiko. Setiap kader komunitas yang sudah dilatih menjadi perpanjangan tangan pemerintah, dan mereka diminta untuk menyosialisasikan soal pencegahan stunting. Upaya sosialisasi ini juga didukung oleh fungsi ketua di desa tersebut. Kader pun tak dibayar, tetapi berkesempatan mendapat layanan kesehatan gratis, termasuk keluarga kader.
“Satu kader itu bertanggung jawab untuk 10-20 RT, misalnya. Jadi, pendampingannya itu sangat spesifik. Kalau di Indonesia, satu kader bisa megang RT lebih dari itu, sehingga sehingga pusing kalau kebanyakan,” sambung Qonita.
“Yang dilakukan pemerintah Thailan bisa diadaptasi juga di Indonesia. Sehingga pencegahan stunting bisa maksimal,” tandasnya.
(LH)