Oleh: Tim Rumah Daulat Buku (Rudalku)
Channel9.id – Jakarta. Seorang istri tak tahu peran suaminya dalam kasus bom bunuh diri. Ia percaya penangkapan itu sebagai ketentuan Allah. Ia tak menyetujui aksi teror apapun bentuknya.
Warna dinding bagunan itu beraneka, hijau, biru, kuning, ungu, dan jingga. Dekorasinya menyiratkan semangat dan keceriaan. Di bagunan yang memiliki teras depan tertutup sekira 50 meter persegi itu 19 pelajar PAUD/TK dan 65 pelajar TPA membekali diri dengan belajar Al-Quran dan wawasan keislaman. Sebagian belajar di teras, sebagian yang lain di ruangan dalam.
Sejak 2017, di sekolah yang berdampingan dengan kediaman orang tuanya itu Rita Wafiyah Hartati mengisi hari-harinya dengan mengelola sekaligus mengajar. Ia dan sang suami menamainya sekolah yang berlokasi di Kampung Sindangsari, Desa Cileunyi Wetan, Bandung, itu dengan nama: TKQ/TPQ Al-Kahfi.
Baca juga: Dari NII ke JAD Berujung Jihad Literasi (3)
Sejak SMP Sudah Mengajar TK
Rita Wafiyah Hartati lahir di Bandung pada 1981. Ia anak sulung dari tiga bersaudara. Ayahnya bernama Yayat Ruhiyat dan Ibu Een Juhaeni. Ia menikah dengani pria asal Banten kelahiran 1973, Muslih Afifi Afandi, pada 1997. Saat itu usianya 16 tahun dan baru tamat SMP, sementara sang suami 24 tahun. Usia perkawinannya saat ini sudah sekitar 24 tahun.
Dari pernikahannya itu, Rita-Muslih telah dikarunia lima anak, Muhammad Neilul Autor, mahasiswa semester satu Universitas Negeri Semarang yang sebelumnya belajar di pesantren Kafila Internasional di Jakarta; Aufa Hikmatul Kholidah, pelajar kelas dua di SMA Miftahul Khoir di Bandung; Nuha Rojiha Al-Aqila, pelajar kelas lima SD; Izzu Fathul Bari, pelajar kelas satu SD yang sekaligus santri Yayasan Pondok Pesantren Abu Bakar di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah; dan Diah Karima yang masih berusia empat tahun.
Di Bandung, Muslih menimba ilmu di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Gunung Jati Bandung dan tinggal di Pesantren Mahasiswa As-Sunnah pimpinan mendiang Kolonel Lesmana Ibrahim. Pesantren tersebut berada di bawah naungan Yayasan As-Sunnah yang juga memiliki lembaga pendidikan TK/TPA As-Sunnah, tempat awal karier keguruan Rita.
“Sejak kelas dua SMP saya sudah mengajar di As-Sunnah, suami yang mengarahkan,” ujar Rita.
Yayasan As-Sunnah kemudian beralih kepemilikan, dan Rita pun mendirikan Al-Kahfi.
Beberapa tahun setelah menikah, cerita Rita, sang suami bekerja di Arab Saudi, di rumah makan Indonesia milik uwaknya. Sang suami memiliki banyak kerabat yang tinggal di Arab Saudi.
“Uwak dan pamannya 14 bersaudara di Arab Saudi,” ujar Rita. “Kakek suami punya istri tiga, yang dari Indonesia hanya neneknya suami.”
Ayah sang suami berasal dari Ciomas yang menikah dengan ibunya yang lahir di Arab Saudi. Di rumah makan milik keluarga dari pihak ibunya itu Muslih bekerja. Biasanya, sang suami mengambil cuti bekerja pulang ke Indonesia selama dua bulan.
Pasca menikah dan memiliki anak, Rita meneruskan jenjang pendidikan SMA dengan mengikuti program kejar paket C. Sebagai pendidik, Rita harus selalu meningkatkan kemampuan ilmu dan pengalaman. Rita pun kemudian melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Jawami yang berlokasi kurang dari setengah kilometer dari rumahnya di Desa Cileunyi Wetan.
Tak Setuju Bom Bunuh Diri
Rita sejauh itu hanya tahu bahwa saat cuti dari kerja sang suami hanya memiliki beberapa aktivitas rutin.
“Pagi antar anak sekolah, siangnya nungguin toko sendal, terus mengelola TK/TPA. Saya paginya ngurusi TK, dia siangnya ngurusi TPA. Begitu saja bolak-balik,” ujar Rita.
Rita memang tahu kalau sang suami sering kontak dengan seorang rekannya yang pernah menjalani vonis karena rencana tindakan terorisme pada 2010. Namanya Kiki Muhammad Iqbal yang saat ini mendekam di Nusakambangan untuk menjalani vonis 9 tahun. Kiki memang dikenal ideolog yang sering mengadakan kajian di masjid.
Peristiwa yang membawa sang suami ke pengadilan adalah kejadian bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta Timur pada 24 Mei 2017 yang dilakukan oleh Ahmad Sukri dan Ichwan Nur Salam.
Dalam peristiwa itu, lima orang meninggal dunia, yakni dua pelaku itu sendiri dan tiga orang polisi, sementara 10 orang terluka. Mengetahui kejadian itu, Rita tak setuju dengan aksi bom bunuh diri, “Saya tidak sepemahaman dengan yang bom bunuh diri.”
Sang suami kemudian ditangkap pada Rabu, 7 Juni 2017 di halaman TK-TPA As-Sunnah, Cileunyi. Penangkapan itu membuat Rita kaget. Ia tak menduga, dan menganggap kejadian itu sebagai fitnah.
“Saya tak tahu apa-apa, selama ini suami pulang-pergi Arab Saudi, sebagai TKI, jadi kasir di math’am (rumah makan),” ujar Rita.
“Di sini juga masyarakat menganggap kena fitnah. Diambil waktu saya hamil enam bulan,” tutur Rita.
“Ah, sudahlah tidak usah menyalahkan, itu sudah qodarullah (ketentuan Allah). Mungkin ujian juga buat saya.” (Bersambung)