Channel9.id – Jakarta. Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menyampaikan, ada potensi massa NU terpecah akibat hasil pemilihan Ketua Umum PBNU dalan Muktamar NU di Lampung.
Menurut Uchok, potensi kemenangan Gus Yahya alias Yahya Staquf untuk merebut ketua Umum PBNU di muktamar NU Lampung sangat besar sekali.
Salah satu faktor kemenangan Gus Yahya adalah dukungan wakil ketua DPR, Muhaimin Iskandar atau cak Imin kepada Gus Yahya.
Baca juga: Gus Nadir: NU Harus Mengeluarkan Gagasan Cemerlang Saat Muktamar
“Apalagi nanti dalam pemilihan ketua umum PBNU, metode pemilihan dengan cara menggiring suara cabang cabang NU ke arah aklamasi, atau voting, satu suara satu cabang, tetap saja yang akan menang adalah Gus Yahya,” ujar Uchok dalam rilis, Selasa 21 Desember 2021.
Namun demikian, kata Uchok, l kemenangan Gus Yahya sebagai ketua umum PBNU, tidak akan diterima atau ditolak oleh kubu Prof. DR. KH Said Aqil Siradj, MA.
Menurut Uchok, penolakan mungkin saja dengan alasan adanya kecurangan dalam pemilihan, dan adanya intervensi pemerintah melalui kementerian Agama kepada cabang cabang NU agar tidak memilih kembali KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum PBNU.
“Dengan adanya penolakan terhadap Gus Yahya sebagai Ketua umum PBNU oleh kubu KH Said Aqil Siradj, maka muktamar NU akan melahirkan dua atau tiga PBNU. PBNU pertama versi Gus Yahya, PBNU kedua, versi kubu KH Said Aqil Siradj, dan PBNU ketiga, versi Indonesia Timur,” kata Uchok.
Untuk menghindari PBNU terbelah menjadi tiga (pasca muktamar NU Lampung), Uchok menyarankan persoalan pemilihan ketua Umum jangan diserahkan kepada PCNU dan PWNU secara langsung atau voting.
Lebih baik, menurutnya, metode pemilihan dengan cara AHWA atau PCNU dan PWNU memilih para kyai sepuh untuk menjadi anggota ahlul halli wal aqdi (AHWA). Dan para kyai sepuh inilah yang akan memilih ketua umum PBNU.
“Dan hal ini bisa menghindari Politik uang, pengaruh politisi busuk, dan mengindari PBNU terbelah berkeping-keping menjadi 3 PBNU,” ujarnya.
Namun, Uchok mengingatkan, komposisi anggota AHWA tidak boleh memasukkan Kyai Ma’ruf Amin sebagai apapun dalam AHWA. Jika kyai Ma’ruf Amin ikut sebagai AHWA, ini sama saja, pemerintah ikut campur dalam urusan internal NU.
Kemudian lanjut Uchok, para kyai sepuh akan rapat, dan memilih ketua umum PBNU dengan kriteria calon sebagai berikut: pertama tokoh nasional, kedua, punya jaringan luas baik secara nasional dan internasional, dan ketiga dihormati dan disegani oleh para kyai dan tokoh tokoh NU.
“Bila mengacu kepada kriteria AHWA seperti diatas, maka tokoh yang sedang muncul saat ini, salah satunya adalah kyai As’ad Said Ali. Dimana kemunculan kyai As’ad Said Ali bisa menyatukan kembali NU, yang saat ini sedang menuju perpecahan, bukan perpecahaan karena perbedaan wacana, api perpecahaan konflik fisik yang sangat membahayakan pemerintahan Jokowi,” pungkasnya.
Adapun Ketua PBNU periode 1999-2010, KH Dr Andi Jamaro Dulung mengungkapkan, sebaiknya Ketua Umum PBNU nantinya adalah sosok ulama yang sudah bergelar profesor, atau paling tidak adalah sosok bergelar doktor.
Sebab, menurutnya, NU adalah organisasi para ulama, cendekiawan dan intelektual muslim yang punya ribuan kader bergelar doktor.
Andi Jamaro Dulung juga meminta maaf karena pada Muktamar NU ke-34 lebih memilih untuk berpihak pada KH Said Aqil Siradj yang merupakan petahana, bukan kepada KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya).
“Tidak sampai hati jabatan Ketua Umum PBNU diberikan kepada orang yang secara akademik formal tidak teruji. Konon Gus Yahya tidak tamat S1,” ungkap tokoh NU dari Sulawesi Selatan tersebut dalam pernyataan yang tersebar melalui FB, Senin, 20 Desember 2021.
Andi Jamaro Dulung juga menjelaskan alasan dirinya tidak berpihak pada Gus Yahya.
Di antaranya adalah mengenai PBNU yang membawahi 274 perguruan tinggi NU, dan Ketua Umum PBNU ibarat seorang chairman (ketua) dari ratusan perguruan tinggi tersebut.
“Sangat ironis bila chairman dari 274 PTNU itu merupakan seorang yang tak tamat pendidikan S1,” ungkapnya.
Selain itu, Andi Jamaro Dulung menilai jika Gus Yahya tidak pernah dikader di IPNU, PMII dan Ansor, sedangkan idealnya PBNU dipimpin oleh kader yang secara berjenjang berproses melalui kaderisasi di NU.
“Konon Gus Yahya hanya pernah menjadi aktivis HMI MPO,” ungkapnya.
Andi Jamaro juga mencermati bahwa Gus Yahya tak ada indikasi untuk mengakomodir figur Sulawesi Selatan dalam konfigurasi kepemimpinan.
“Terbukti dengan komposisi calon AHWA. Tim Gus Yahya sama sekali tidak mencatumkan ulama asal Sulsel. Padahal Sulsel punya tokoh NU seperti Prof Dr KH Nasaruddin Umar dan Prof Dr KH Najamuddin,” imbuh Andi Jamaro.
Hal lain yang membuat Andi Jamaro tak mendukung Gus Yahya adalah ia belum mengenal sosok Gus Yahya.
Padahal, Andi Jamaro mengaku sudah 35 tahun berkiprah di NU, tapi belakangan dalam 5 tahun terakhir Gus Yahya tiba-tiba muncul dan menjabat Katib Aam Syuriah PBNU.
“Sangat tidak logis apabila mendukung seseorang yang tidak dikenal,” pungkasnya.
HY