Opini

Kurikulum Datakrasi

Oleh: Iman Zanatul Haeri

Channel9.id – Jakarta. Siapa yang tidak bingung, selama tiga tahun (2019-2022), pemerintah merilis empat nama kurikulum secara berbeda.

Pertama, kurikulum Darurat dalam rangka mengatasi Covid-19. Isinya Kurikulum 2013 (Kurtilas) yang disederhanakan. Kedua, kurikulum Sekolah Penggerak (SP) yang diterapkan pada beberapa sekolah yang lolos atau terpilih. Ketiga, Kurikulum Prototype (KP) dengan format opsional. Keempat, kurikulum merdeka yang baru saja diluncurkan.

Pada praktiknya jumlah kurikulum yang dipakai jauh lebih banyak lagi. Ada sekolah dan madrasah yang masih menggunakan kurikulum 2006 KTSP dan Kurtilas. Ada yang masih mengajar dengan beban yang disederhanakan oleh ‘kurikulum darurat.’ Kini muncul kurikulum SP dan kurikulum prototype.’ Maka wajar jika publik dan kalangan pendidik masih kebingungan dengan kurikulum baru ini. Setiap menerima kritik, nama kurikulum selalu berubah seperti menyembunyikan wajah aslinya.

Wajah Berlapis

Secara substansial, hanya ada satu kurikulum yang direncanakan akan mengganti Kurtilas. Namun dalam prosesnya, kurikulum baru ini memiliki banyak wajah dan beragam nama. Minimnya informasi mengenai kurikulum ini karena belum jelas, apakah naskah akademik program sekolah penggerak adalah naskah akademik kurikulum?

Baca juga: Prof. Komarudin: Darul Mitsaq Jembatan Lahirkan Kurikulum Berwawasan Kebangsaan

Naskah ini mengklaim hanya memuat program untuk sekolah penggerak, namun pada prakteknya menyisipkan kurikulum secara terbatas (Suprayitno, 2020). Artinya ada upaya untuk menurunkan derajat kurikulum yang sejatinya berlaku secara nasional menjadi sebuah praktik uji coba terbatas.

Ini merupakan langkah persuasi menghindari kegagalan masal penerapan Kurikulum SP dengan cara memilih sekolah yang sudah dikondisikan. Mirip dengan penerapan sekolah model yang digagas oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP). Entah mengapa keduanya dianggap berbeda.

Secara yuridis, dasar Program sekolah Penggerak awalnya mengacu pada peraturan pengangkatan jabatan kepala sekolah (Permendikbud nomor 6 tahun 2019). Kemudian, dalam Kepmendikbud nomor 1177 tahun 2020, masih menggunakan diksi ‘Program Sekolah Penggerak,’ meski isinya adalah perubahan kurikulum.

Setelah dilaksanakan di sekolah, terjadi perubahan signifikan dengan terbitnya SK Kepala Balitbang dan Perbukuan no 28 tahun 2021. SK ini berisi Capaian Pembelajaran (CP) yang merupakan kunci utama kurikulum baru.

Bahkan dalam Kepmendikbud Ristek no.162 tahun 2021, format kurikulum ini tetap disebut Program Sekolah Penggerak. Bukan kurikulum. Padahal didalamnya 75 kali kata Kurikulum disebutkan.

Oleh sebab itu siasat untuk menyisipkan perubahan kurikulum pada program sekolah penggerak mudah mengundang pertanyaan publik karena sebenarnya memang terjadi perubahan kurikulum yang signifikan.

Persoalan utamanya, ketika rapat kerja dengan komisi X DPR-RI, Nadiem Makarim menyatakan bahwa uji coba kurikulum SP telah berhasil meningkatkan capaian belajar anak dibandingkan Kurtilas (2/12/2021). Padahal yang berhasil dalam konteks ini adalah pengurangan beban ajar siswa karena Kompetensi Dasar (KD) Kurtilas dikurangi. Yakni saat penyesuaian dengan kondisi Pembelajaran jarak Jauh (PJJ) selama Pandemik Covid-19. Format penyederhanaan ini disebut kurikulum ‘darurat’. Dilupakan juga keberhasilan ini didukung oleh berkurangnya beban administrasi guru selama masa darurat.

Kemdikbud Ristek mengklaim bahwa kurikulum darurat sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan Kurikulum SP. Menurut mereka, format pengurangan beban KD dalam Kurikulum Darurat dipakai secara esensial dalam Kurikulum SP.

Akrobat semantik ini menyiratkan watak dari kurikulum yang sedang dibentuk, yakni mengambil semua klaim untuk membuat dirinya benar. Karena sebenarnya kurikulum Darurat adalah Kurtilas yang disederhanakan. Berbeda dari sekedar KD esensial, Kurikulum SP justru meniadakan KD. Diganti dengan Capaian Pembelajaran (CP). Selain itu jenjang kelas berubah menjadi fase. Di dalamnya terdapat elemen-elemen penghubung antara fase dengan CP. Kemudian, jarang diungkapkan bahwa terdapat mata pelajaran yang dikurangi bahkan dihapuskan.

Yang paling kursial adalah semangat untuk menghancurkan sekat-sekat IPA dan IPS di SMA. Cita-cita ini sungguh mulia karena memberikan kemerdekaan dalam belajar. Masalahnya, jika dalam suatu skenario seorang anak memilih Mapel Fisika, Kimia dan Sosiologi, apakah fakultas kedokteran mau menerima anak ini meskipun ia tidak belajar mapel Biologi pada saat kelas XI dan XII? Apa jaminan merdeka belajar semacam ini kepada masa depan siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang Universitas?

Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemdikbud Ristek juga mengaku bahwa persoalan ini menjadi hambatan tersendiri karena kampus tidak bisa dipaksa untuk menerima skenario tersebut (FGD, 12/1/2022).

Bisa difahami bahwa lepasnya sekat IPA-IPS adalah bentuk penyesuaian pasar kerja era digital yang menuntut keterampilan lintas ilmu dari lulusan sekolah. Tapi Pendidikan yang menunjang keterampilan menghadapi industri digital bukan berarti pembenaran teknologi digital meredefinisi kelas dan pembelajaran.

Tekno tanpa Logos

Penting bagi Kurikulum SP atau prototype atau Merdeka memiliki perspektif mengenai masifikasi penggunaan teknologi digital dalam pembelajaran. Perlu diingat, bahwa hadirnya teknologi digital berupaya untuk mendukung pelajar, pendidik, dan institusi (sekolah).

Namun Sejarah mengingatkan kita bahwa perbaikan teknis dalam teknologi edukasi cenderung menghasilkan hasil yang tidak merata. Sangat jarang berakhir dengan hasil yang sama untuk semua populasi dan seringkali hanya mengganti satu masalah sosial dengan masalah sosial lainnya (Selwyn, 2011).

Ada tiga alasan mengapa kurikulum (SP/Prototype/Merdeka) memang bermasalah. Pertama, kurikulum yang sudah dicoba 2500 sekolah sepanjang tahun 2021 ini akan menjadikan sekolah penggerak prioritas daripada sekolah yang belum mencobanya.

Diskriminasi menjadi keniscayaan. Bagaimanapun Kemdikbud akan lebih fokus pada sekolah yang menggunakan kurikulum yang mereka rekomendasikan.

Kedua, terapan campur-pilih mapel IPA-IPS dalam Kurikulum (SP/prototype/Merdeka) di tingkat SMA yang kesulitan menempatkan diri pada linearitas di tingkat perguruan tinggi.

Hal ini mestinya ditafsirkan sebagai sinyalemen bahwa ada jarak antara marwah ilmu dan kepakaran dengan etalase menu pembelajaran.

Ketiga, perbaikan teknis yang ditawarkan oleh teknologi edukasi lebih sering berambisi untuk mengganti satu ‘alat’ dengan ‘alat’ lain. Paradigma ini hanya menempatkan dunia Pendidikan sebagai user experience dan para inovatornya berasal dari perusahaan teknologi edukasi.

Para pendidik hanya melakukan shifting informasi. Hidup dalam jembatan frekuensi, nomaden antar aplikasi edukasi. Sedangkan proses penting seperti ruang eksperimentasi diakusisi oleh perusahaan teknologi.

Jika kurikulum (SP/Prototype/Merdeka) tidak mampu mengambil posisi dihadapan teknologi edukasi, nilai apapun yang kita tawarkan dalam kurikulum hanya akan menjadi konten kreasi. Sebab menanaman nilai disederhanakan menjadi instalasi. Edukasi menjadi rezim datakrasi.

Jakarta, 11 Februari 2022

Penulis adalah Kabid Advokasi Guru P2G

Pustaka:

Suprayitno, Dkk. 2020. Naskah Akademik Program Sekolah Penggerak. Puslitjak Kemdikbud.

Permendikbud nomor 6 tahun 2019 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah

Kepmendikbud 1177 tahun 2020 Tentang Program Sekolah Penggerak

SK Kepala Balitbang dan Perbukuan no 28 tahun 2021 Tentang Capaian Pembelajaran PAUD, SD, SMP, SMA, SDLDB, SMPLB dan SMALB Pada Program Sekolah Penggerak

Kepmendikbud Ristek no.162 tahun 2021 Tentang Program Sekolah Penggerak

Selwyn, Neil. 2011. Education and Technology Key Issue and Debates. New York: Continuum International Publishing Group.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

42  +    =  48