Channel9.id – Jakarta. Pembobotan harga dalam pentahapan pekerjaan e-KTP, tidak sesuai dengan harga yang nyata, karena harga pembobotan ditinggikan pada pekerjaan yang terakhir, hal tersebut disampaikan oleh Yuniarto, mantan Direktur Produksi Perum PNRI yang juga menjadi Ketua Konsorsium e-KTP dalam sidang e-KTP dengan terdakwa Isnu Edhy Wijaya dan Husni Fahmi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
“Ada tiga tahapan dalam proses pembuatan e-KTP, cetak blanko, personalisasi dan distribusi, masing-masing ada harganya, namun melalui addendum ke- 5 merubahnya dengan melakukan pembobotan dengan memberikan beban harga yang lebih tinggi pada proses yang terakhir,” jelasnya.
Dalam pembobotan tahapan pekerjaan, distribusi yang merupakan rangkaian proses paling akhir dalam cetak e-KTP, berubah harganya menjadi Rp 3,360 rupiah. Harga percetak blanko diperkecil menjadi Rp 8 .397, sedangkan harga personalisasi diperbesar menjadi Rp 4.243. perubahan harga ini bagi yang tidak mengerti persoalan akan terkesan, terjadinya mark up terhadap harga cetak e-KTP. Karena terjadi perubahan harga berbeda jauh dan tidak mencerminkan harga aslinya.
Harga riil dari mencetak dan mendistribusikan kartu e-KTP sesuai kontrak awal antara konsorsium PNRI dengan Dukcapil Kemendagri, untuk cetak blanko sebesar Rp 12 ribu, personalisasi Rp 3.800 dan distribusi Rp 200. Pemecahan harga dengan tidak mengacu kepada harga riil pada akhirnya berdampak kepada konsorsium khususnya kepada perum PNRI dan PT Sandipala.
Menurut Yuniarto pembobotan menjadi boomerang bagi perusahaan percetakan, karena seolah-seolah harga pembobotan menjadi harga ril padahal sebenarnya tidak. Pihaknya sudah mengirimkan surat untuk mempertanyakan soal pembobotan namun tidak ada jawaban dari pihak Kemendagri.
“Saat itu menurut info dari Kemendagri, kenapa dilakukan pembobotan karena pembuatan e-KTP dilakukan oleh konsorsium yang sama,” jelasnya. Selain itu alasan lain adalah untuk menghindari terjadinya kerugian negara.
Soal pembobotan pekerjaan pengadaan dirapatkan pada tanggal 6 Oktober 2011, dalam notulen rapat disebutkan, harga pentahapan pekerjaan tersebut tidak berdasarkan atas nilai biaya pertahapan pekerjaan karena keseluruhan tahapan pekerjaan dilaksanakan konsorsium yang sama. Sehingga penentuan bobot hanya didasarkan kesepakatan antara PPK dengan Konsorsium PNRI.
Bahwa bobot pekerjaan dengan nilai lebih besar diberikan kepada pekerjaan yang pelaksanaanya lebih belakangan. Menurut Sugiharto selaku PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) Dukcapil Kemendagri ketika dikonfirmasi menyampaikan alasan terjadinya pembobotan agar konsorsium tidak mengutamakan pengadaan blanko namun juga mengutamakan pekerjaan distribusinya.
Namun pembobotan berdampak kepada konsorsium yang mengalami kekurangan bayar. Konsorsium PNRI mengalami kekurangan bayar yang cukup besar mencapai 200 Miliar. Konsorsium juga berpotensi mengalami kerugian dari segi investasi, karena mesin personalisasi yang sedianya memproduksi sejumlah 172 juta ternyata hanya digunakan untuk memproduksi 145 juta.
PNRI sudah mencetak blanko 172 juta sesuai dengan target, namun yang dibayar Kemendagri hanya 145 juta, sisanya 27 juta dibayar sesuai dengan harga blanko sebesar Rp 8.397 padahal harusnya kalau tidak dibobot Rp 12 ribu. Blanko tersebut tidak bisa dipersonalisasi lantaran adanya kekurangan rekaman data pendudukan yang menjadi tanggungjawab Kemendagri.
“ yang bertanggungjawab melakukan perekaman data adalah kemendagri,” jelas Yuniarto. Proses perekaman data dari berbagai daerah di lakukan oleh Kemendagri. Keterlambatan data dari Kemendagri mulai melambat sejak bulan Maret 2013. Sehingga kapasitas produksi e-KTP menjadi tidak maksimal.
Rekaman data kependudukan yang terdiri, data pribadi, sidik jari, iris mata hingga foto disuntikan ke e-KTP melalui proses personalisasi. Jika data kependudukan tidak ada, maka tidak bisa dilakukan personalisasi. Setelah personalisasi selesai baru dilakukan proses distribusi, dalam melakukan distribusi Konsorsium PNRI bekerjasama dengan PT Pos Indonesia.