Channel9.id-Jakarta. “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” demikian ungkap Sukarno dalam suatu pidatonya pada 17 Agustus 1966 lalu. Pesan ini terus menggema hingga hari ini. Mengingat pesan itu, Indonesia sebentar lagi menginjakkan tanggal 30 September. Kita mesti ingat bahwa di tanggal tersebut, tepatnya di tahun 1965, ada peristiwa yang tak bisa diabaikan begitu saja dan memengaruhi kesejarahan Indonesia sendiri yaitu kudeta pemerintahan Indonesia oleh militer.
Peristiwa sejarah itu mestinya tak dipandang melalui satu sudut pandang saja. Sebab peristiwa sejarah mesti dilihat secara menyeluruh dari berbagai aspek atau holistik. Berangkat dari pendirian itu, didapati bahwa situasi global memengaruhi situasi nasional. Peristiwa kudeta militer tak semata-mata melibatkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Didapati bahwa ada campur tangan lain yang berandil pada peristiwa itu, namun tak semua mengetahuinya. Salah satunya yaitu perihal keterlibaan militer Jerman pada peristiwa tersebut.
Untuk diketahui, Jerman Barat selama era Perang Dingin tahun 1960-an merupakan salah satu ujung tombak Sekutu Barat, yang sedang menghadapi pengaruh Uni Soviet, juga Cina.
Perlu dipahami bahwa 1960-an, dunia terbagi menjadi dua kekuatan yakni Barat dan Timur. Kekuatan Barat dipimpin oleh Amerika Serikat dengan pengaruh liberalisme dan kapitalisme, sementara kekuatan Timur dipimpin oleh Uni Soviet dengan pengaruh komunisme. Masing-masing kekuatan ini berupaya memperluas pengaruhnya ke seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia.
Adapun di masa Presiden Sukarno, hubungan Indonesia dengan Uni Soviet bisa dikatakan dekat. Kedekatan ini tampak ketika Uni Soviet mengakui kemerdekaan Indonesia di Den Haag, Belanda pada 27 Desember 1949. Uni Soviet pun berkali-kali mengangkat masalah Indonesia dan menuntut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menghentikan agresi militer Belanda—yang terjadi di 1947 dan 1949. Memasuki era 1960-an, Uni Soviet sangat mendukung Indonesia dalam hal pembangunan maupun ekonomi, kendatipun Indonesia menjadi salah satu pelopor Gerakan Non-Blok (GNB). Bahkan timbul persepsi bahwa Indonesia semakin dekat ke Timur.
Melihat hal itu, kekuatan Barat yang ingin memperluas pengaruhnya tak tinggal diam. Jerman Barat yang merupakan salah satu ujung tombak Sekuru Barat, mengerahkan dinas rahasianya untuk mendukung kudeta militer di berbagai tempat, termasuk Indonesia di 1965—1966—yang kemudian berlanjut beroperasi dari Chili (1973) sampai Turki (1980).
Dari semua proses itu, kudeta militer di Indonesia tahun 1965-1966 merupakan yang paling kelam dalam catatan sejarah era Perang Dingin. Sekitar 500 ribu hingga tiga juta orang dibunuh, dari warga yang diduga simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) sampai kelompok minoritas yang dianggap condong mendukung Timur.
Di 1971, majalah berita terbesar Jerman Der Spiegel merilis berita tentang keterlibatan dinas rahasia Jerman Bundesnachrichtendisenst (BND), yang disebut “operasi penumpasan” PKI. Spiegel melaporkan bahwa BND mendukung dinas intelijen militer Indonesia tahun 1965. Dukungan ini ditujukan untuk memukul kudeta sayap kiri di Jakarta, dengan bantuan berupa senapan mesin ringan, radio gelombang pendek, dan uang senilai 300.000 Deutsche Mark.
Beberapa minggu berselang, Spiegel memberitakan bahwa “komando BND” sudah “melatih agen intelijen militer di Indonesia” untuk meringankan beban rekan-rekan Badan Inteligen Pusat (CIA) Amerika Serikat, yang sedang “di bawah tekanan propaganda anti-Amerika” di Indonesia. BND ini “menyuplai senapan Uni Soviet dan amunisi Finlandia”, dan bahkan terlibat dalam “perang saudara” tersebut.
Sepeninggal Presiden Suharto, dokumen-dokumen rahasia di luar negeri dibuka untuk publik. Sementara itu, di Jerman 2014, sejumlah anggota dari Partai Kiri mempertanyakan peran Jerman kepada parlemen. Pertanyaan itu menyusul semakni terangnya peran dinas rahasia CIA dalam mendukung para jenderal Angkatan Darat (AD) untuk menggulingkan Sukarno.
Merespons pertanyaan Partai Kiri, pemerintah Jerman menjawab melalui tulisan setebal delapan halaman. Pada tulisan itu, pemerintah Jerman membantah “keterlibatan Jerman” dalam peristiwa itu.
Namun demikian, dokumen-dokumen rahasia yang terungkap pada 2020 justru memperjelas adanya peran dinas intelijen Jerman dalam “operasi penumpasan PKI” di Indonesia.
Untuk diketahui, operator intelijen Jerman yang dulu ditempatkan di Jakarta dan disebut dalam laporan Spiegel ialah Kolonel Rudolf Oebsger Roeder—yang kemudian dikenal sebagai O.G. Roeder. Setelah Suharto menjadi petahana presiden, O.G. Roeder menerbitkan biografi tentang Suharto pada 1969. Buku biografi itu berjudul ‘’The Smiling General’’ dan penerbitnya adalah Gunung Agung. Adapun versi berbahasa Indonesianya berjudul ‘’Soeharto, dari Pradjurit Sampai Presiden’’.