Hot Topic Internasional

Turki Pada Sejejak Rihlah Negeri

Oleh: Soffa Ihsan

Channel9.id – Jakarta. Sore itu saya bersama teman menjejakkan kaki di sebuah spot pelesiran di Istambul. Taksim begitu nama yang populer hingga ke manca negara. Di sini segalanya ada. Toko, gerai makanan, kafe, hiburan malam saling berbanjar-banjar. Hawa dingin ditambah hembusan angin membuat badan makin menggigil. Saya terus berjalan menggerakkan tubuh untuk mensiasati dingin. Keluar masuk toko sekedar melongok barang atau makanan yang dijajakan. Cukuplah beli oleh-oleh ala Turki berupa camilan untuk keluarga di Tanah Air. Hingga pada suatu tempat, saya harus menghentikan langkah kaki setelah muter-muter ke sebuah kafe yang terbilang tak terlalu besar. Suasana kafe saat itu sedang sepi. Hanya saya dan teman yang nongkrong di situ. Saya pesan kopi dan makanan ringan. Begitu kopi tersaji, langsung saya seruput, wuh nikmatnya ditengah hantaman dingin seperti ini. Sembari itu saya pun mengepul-ngepulkan asap rokok.

Diskusi dan ngobrol yang kadang diselingi tawa canda mewarnai nongkrong kami. Mata terus berjelalatan mengamati hilir mudik orang-orang berjalan di wilayah itu. Waktu makan malam pun tiba. Lalu saya bersama teman menuju sebuah rumah makan kebab yang jaraknya sekitar setengah jam dari kafe tempat kami nongkrong. Makan malam kami lewati dengan puas. Setelah itu skuad menuju bis yang sudah disediakan untuk menuju bandara yang jaraknya sekitar 1 jam. Yah, malam itu tepatnya malam jumat 10 Nopember 2022, kami harus kembali ke Tanah Air. Pesawat akan terbang pukul 2 pagi yang berarti jumat pagi waktu setempat.

Pesawat Turkish Airline mendarat di Jakarta pada 16.30 WIB. Rasa lelah dan jenuh selama 12 jam perjalanan terasa terlepas begitu menapak kaki lagi di Tanah Air. Segera setelah beres urusan begasi dan lainnya, saya langsung naik taksi menuju rumah di Jakarta Selatan. Bertemu keluarga dan beristirahat menjadi rebahan rehat saya. Pada minggu petang, sontak saya kaget membaca Wag ada berita pemboman di Taksim, Istiklal Venue Turki. Kejadiannya sekitar jam 13.30 waktu Turki. Wow, kata teman di WAG, tim sempat jalan-jalan lewat toko tempat kejadian bom yang menewaskan belasan orang dan melukai puluhan lainnya itu. Bahkan teman mengingatkan bahwa tempat makan malam tim tidak jauh dari TKP. Info terus berdatangan di Wag dari vidio kejadian bomnya hingga berita-berita dari Turki serta postingan media di Turki. Ternyata, pelakunya adalah kelompok separatis etnis Kurdi dari faksi PKK. Bangsa Kurdi memang ‘stateless people’ yang tak bertanah sehingga berdiaspora dimana-mana terutama di Turki, Suriah dan Iran. Besoknya 6 pelaku yang salah satunya perempuan berhasil ditangkap polisi Turki. Dalam pikiran saya melayang seandainya hari minggu saya dan skuad masih di Turki, lalu berjalan mengitari wilayah Taksim, mungkin ceritanya lain. Pray for Turkey, segala bentuk terorisme harus dikutuk.

Cerita soal terorisme di Turki bukan kali ini saja. Dari teman yang lama kuliah di Istanbul University, dia cerita dulunya di Taksim juga pernah terjadi peristiwa teror bom yang dilakukan oleh kelompok ISIS. Yang lebih heboh nan tragis adalah pada 2016 ketika terjadi kudeta yang dipimpin Fethullah Gulen. Ratusan orang tewas dan tak hanya letupan peluru yang membrondong, tapi juga rudal melesak menghancurkan sasaran. Dan kejadian teror bom Minggu, 13 November 2022 itu, barangkali baru menyalak lagi setelah sekian lama Turki dalam jeda ketenangan. Menanggapi teror di Turki tersebut, seorang teman berseloroh di Wag, untung yang melakukan itu kelompok separatis yang tercondong ke faham komunis bukan Islamis. Lalu lantang dia berteriak,”komunis laknatullah’. Baginya dengan meluap, hendak membuktikan teror dilakukan oleh banyak pihak. Jangan ada stigmatisasi terhadap misalnya kelompok muslim melulu.

Benar, teror bahkan untuk secuil kekerasan perlu dilawan tanpa pandang siapa pelakunya. Teror adalah musuh bagi agama dan kemanusiaan. Namun, menolak stigma pelaku teror jangan pula sampai menjebak menstigmatisasi pelaku lainnya. Dalam nomenklatur fikih Islam ditandaskan bahwa teror berarti merusak tubuh dan jiwa manusia (hifdzul irdhi) dengan segala martabat manusia yang sudah seharusnya dilindungi oleh agama dan institusi seperti negara.

Negeri kita sendiri sudah kenyang dengan aksi teror sejak Bom Bali pertama 2001 hingga peristiwa teror dalam skala kecil yang dilakukan oleh individu ‘lone wolf’. Seperti barusan terjadi di Jakarta di 2022 tepatnya aksi perempuan yang hendak beraksi di depan istana negara. Teror terus beralih rupa dan pelaku. Pelaku bukan lagi dari jaringan laten, namun juga dari masyarakat umum yang terpapar dan ujug-ujug bertindak bonek melampiaskan kebencian dan amuk dirinya terhadap apa yang disumpahserapahinya sebagai thoghut atau kafir.

Sekulerisasi Berbalas Harmoni?

Dingin jekut terasa menggigilkan tubuh. Saya yang biasa hidup diiklim tropis Indonesia tentu hawa dingin itu begitu berasa menyiksa. Siang itu memang matahari tampah merekah. Tapi panasnya matahari tergilas oleh dinginnya hawa. Kehangatan yang hendak dipancarkan matahari jadi sirna. Di Ankara saat itu saya tengah berjalan menuju Makam Mustafa kemal Attaturk. Sebuah monumen besar yang tampak gagah jumawa menegak saat saya tatapi. Pengunjung begitu membludak. Waktu itu memang momen libur dan juga menjelang 10 Nipember hari nasional Turki. Di Turki setiap 10 Nopember menandai salah satu ritual tahunan. Alarm akan berbunyi menandai waktu mangkatnya Mustafa kemal yang meninggal 1938. Setiap orang berhenti di tempat mereka duduk atau berdiri. Saat disitu pada 7 Nopember, saya menyaksikan sendiri alarm itu berbunyi dan pengunjung semua diam sejenak hening cipta.

Ya disitulah terbaring jasad Mustafa kemal Attaurk, Bapak Turki moderen yang mengubah Turki dari kesultanan menjadi republik. Dia memegang jabatan presiden pertama Turki sejak berdirinya negara tersebut pada tahun 1923 hingga kematiannya pada tahun 1938. Selama kepemimpinannya, dia telah menjalankan reformasi budaya, politik, dan ekonomi. Atas jasanya, sebuah makam megah dibangun untuk menghormati pendiri Republik Turki ini. Makamnya berdiri megah di sebuah bukit, tepatnya di Jalan Tandogan, kota Ankara. Saking luasnya, terdapat taman, hingga lapangan upacara di sekitar area pemakaman.

Di makam itu, saya bersua dengan Maulana, mahasiswa Indonesia di Turki. Pria asal Indramayu yang beristrikan wanita Turki ini kuliah di Universitas Ilahiyat Turki mengambil jurusan teologi. Ngobrol sana sini bercerita tentang Turki dari soal kuliner hingga yang beraroma politik.

Di ujung obrolan, saya coba menanyakan soal keberagamaan masyarakat Turki. Mungkin umum tahu, Turki dengan sekulerisme yang mengental, agama telah menjadi hal tak ubahnya tradisi. Nyaris-nyaris selaras dengan pandangan orang-orang negara Barat yang menempatkan agama selayak tradisi dan dengan begitu ia adalah produk budaya. Di Turki tidak ‘sesadis’ pandangan ala Barat. Masyarakat Turki masih ada ‘bonding’ lah dengan agama yaitu Islam. Islam mempunyai sejarah panjang di Turki dari Bani Seljuk hingga Ustmani dengan tokoh legendarisnya Muhammad Al-Fatih dan sekarang di era Turki moderen yang berbentuk Republik Turki. Katakanlah, kearifan lokal Turki masih kuat berakar dari ajaran Islam. Yah sebut saja model sekulerisasi berbasis kearifan lokal Turki yaitu Islam.

Maulana mengungkapkan pada saya bahwa pada saat ini Turki tengah menghadapi tantangan arus besar ateisme yang terus bertumbuh. Kebanyakan ateisme dianut oleh generasi muda. Di kampusnya, para pakar dan mahasiswa berupaya untuk melawan argumen-argumen ateisme. Dunia akademis berbasis agama disibukkan dengan perlawanan secara ilmiah akademis terhadap gerakan ateisme. Inilah tantangan masyarakat muslim Turki, begitu tutur Maulana. Turki tidak menghadapi arus puritanisme model Wahabisme seperti di Indonesia. Sebabnya, gerakan radikal dan wahabisme akan mudah dipantau dan lalu ditindak oleh pemerintah Turki. Monitor terhadap kegiatan keagamaan sangat ketat di Turki.

Ini mengingatkan pada ungkapan Imam Masjid Kocatepe Ankara Turki, Profesor Mehmed Atici bahwa kelompok radikal dan ekstrem merupakan kelompok Islam yang sesat. Maka sudah selayaknya dilarang dan ditanggulangi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Muslim Turki mayoritas penganut madzhab Hanafi yang dikenal rasional dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm). Selain itu ada aliran Alewi, Bakhtashi, Syiah serta minoritas non muslim Yahudi dan Nasrani. Selaras itu, pernyataan Prof Necmettin Hurhacan Hoca, mantan wakil Diyanat, urusan keagamaan Turki bahwa Turki berbeda sekali dengan Pakistan. Pakistan banyak melahirkan kelompok Islam yang radikal yang menurut istilahnya terlalu kebablasan dalam beragama. Di Turki, kelompok muslim senantiasa termonitor. Kehidupan beragama secara moderat dan harmonis selalu terjaga.

Begitulah, kebijakan sekulerisme tetap berlaku hingga ditampuk kepemimpinan Presiden Erdogan. Pemerintah Turki melarang adanya sekolah perguruan agama swasta. Semua sekolah agama harus berada di kendali pemerintah. Sekolah harus memiliki sertifikasi dari negara untuk memimpin agama di lingkungan masyarakat. Turki sebagai negara sekuler yang modern membebaskan aktivitas agama apa pun di sana. Kegiatan beragama terpisah dengan urusan negara dan pemerintahan. Namun bukan lantas negara lepas tangan dari urusan agama. Negara memberikan bantuan pada sekolah-sekolah agama. Imam-imam masjid dipilih dan ditunjuk oleh pemerintah. Statusnya pun sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang digaji oleh negara. Begitupun dengan biaya operasional dan pemeliharaan masjid ditanggung oleh negara.

Deislamisasi Atawa Dearabisasi?

Turki dikenal sebagai negara transkontinental atau negara lintas benua. Berbatasan dengan laut Hitam di sebelah utara dan laut Marmara yang menandai batas wilayah Eropa dan Asia. Sehingga cukup indah dan menjadi destinasi kuliah bagi mahasiswa Indonesia. Tak seperti negara dengan penduduk mayoritas muslim, yang satu ini berbeda dan jadi satu-satunya. Di Turki tercatat ada 80 juta jumlah resmi penduduknya. Sedang data tak resmi mencatat ada 100 jutaan terhitung dengan tambahan etnis Kurdi, Armenia, Yunani dan juga limpahan dari pengungsi Ukraina yang akibat perang dengan Rusia. Inilah Turki, negara muslim sekuler satu-satunya di dunia. Berada di antara Eropa dan Asia membuat Turki unik dengan segala macam kebudayaannya. Ya, Turki dikenal pula pernah memimpin dunia Islam selama 700 tahun, dari permulaan abad ke-13 hingga jatuhnya Kekhalifahan Ustmani pada awal abad 20.

Kekhalifahan Turki Utsmani pernah jaya dan lalu runtuh pada 1924. Tampillah Mustafa Kemal Ataturk yang kemudian dijuluki sebagai Bapak Turki moderen yang merubah Turki dari kesultanan menjadi berbentuk Republik. Setelah Mustafa Kemal Ataturk berkuasa, ada upaya perubahan besar-besaran seperti azan harus pakai bahasa Turki, pelarangan hijab dan sekolah keagamaan dibatasi. Sekulerisme menjadi kebijakan dalam mengelola kehidupan sosial politik di Turki.

Namun, dari infomasi dan data yang saya peroleh, upaya revolusioner Mustafa Kemal Attaturk ini bukan berarti deislamisasi atau anti Islam, melainkan anti Arab atau lebih tepatnya dearabisasi. Kita tahu, dulunya jazirah Arab merupakan daerah taklukan Turki yang lalu dikendalikan oleh kesulatanan Ustmani dalam bentuk kekhilafahan. Namun seiring waktu terjadi separatisme, Masing-masing daerah taklukan Turki memisahkan diri dan mendirikan negara sendiri seperti Arab Saudi, Mesir dan lainnya. Kini pada masa pemerintahan Erdogan memang ada perubahan misalnya wanita berhijab dibolehkan di kantor-kantor dan lainnya. Inipun baru berlaku tahun 2013.

Bagi masyarakat Indonesia, Turki terasa karib. Bagi mereka yang masih tersirap-sirap dengan ‘phantasmogoria’ tentang khilafah akan selalu merujuk ke Turki. Kebesaran Turki Usmani yang pernah mengadiakuasa dunia menjadi ‘milestone’ dan bahkan dijadikan semangat dan tambatan untuk membangkitkan kembali khilafah.

Saya jadi teringat buku Paul Berman (2012) yang menulis tentang “The Philosopher of Islamic Terror”. Berman bercakap tentang akar terorisme. Katanya, yang jauh lebih dahsyat dari Al Qaedah adalah ideologi dibalik organisasi itu yang diluncurkan oleh Sayyid Quthub. Quthub mencita-citakan suatu Pan Islamica untuk seluruh dunia dengan khalifah Islam sebagai penguasa politik dunia memulihkan kembali kebesaran imperium Ottoman yang dulu ratusan tahun bertahta di Turki.

Agamis Dan Ateis

Di negeri kita, tampaknya tengah dilanda ombak yang mengarus di dua belahan. Satu belahan, negeri ini sedang dipertontonkan fakta ‘militansi agama’. Mereka dari berbagai kalangan berduyun-duyun mendalami agama. Bahkan pula, tak jarang saking taatnya, mereka berjarak dengan ’fakta’. Mereka tak lagi mau mendekapi fakta yang bineka. Namun, bukan uzlah yang dilakukan, melainkan lebih ‘enjoy syar’i’ berkumpul dengan ‘komunitas saleh’-nya yang sudah terbangun. Yang aneh, setelah berhijrah, ada yang berubah garang dan kemudian bawa parang.

Lagi-lagi fakta, seorang yang dituduh teroris dan ditangkap Densus 88, sidik punya sidik, dia berawal dari perubahan sikap setelah hijrah. Dia mengisolasi dari masyarakat sekitar dan hanya mau kumpul dengan habitatnya. Penampilannya juga beralih fashion. Masjid pun harus ‘terpilih’ sesuai ‘kaca mata kuda’ pahamnya.

Dulu di Solo ada yang namanya Sigid Qordhowi, nama yang dipilihnya setelah hijrah dari preman ke militan. Nyawanya terhenti setelah ‘disukabumikan’ oleh aparat akibat terseret di belitan terorisme. Imam Samudera sendiri sewaktu di penjara, berhasil menghijrahkan seorang napi bandar narkoba menjadi militan dan akhirnya terlibat dalam jaringan bom Bali. Ada fakta lagi, pengakuan teman yang pernah nyantri di pesantren yang menfasilitasi militansi di Jatim. Disini, para santri dilarang baca buku-buku seperti novel atau cerpen. Alasannya, supaya santri tidak cengeng, sehingga tegap dan tegar nantinya untuk berjihad. Walau ada fakta pula, seorang yang hijrah ke kelompok puritan di Jawa Timur, setelah merasakan ribet dengan paham dan lelaku dari kelompok tersebut, lalu dia hijrah kembali menjadi preman dan bertato.

Di belahan lain, ada fakta yang mengendap-endap, mereka yang tadinya ‘pelakon agama’ berubah drastis menjadi pencibir agama dan ateis. Belum ada penelitian memang untuk mengungkap fakta ini. Namun, bila menilik milis-milis di internet faktanya sudah menyeruak pandangan-pandangan yang dengan berani mewacanakan dan bahkan membuka jati dirinya sebagai ateis. Mereka memanfaatkan internet untuk eksis di cyberspace. Orang-orang ini berkumpul dan membuat komunitas maya serta aktif mewacanakan isu-isu ateisme dalam diskusi-diskusi yang dihadirkan di grup media sosial seperti facebook, twitter dan youtube.

Nah, adakah ini fakta yang bersuaan dengan kian kekarnya paham keagamaan yang puritan dan radikal? Para pemurka terhadap ‘liyaning liyan’ di negeri ini ditengara ada fakta banyak lahir dari mereka yang tingkat ketaatan terhadap agama berada pada ‘skor’ tertinggi. Perlu survei dulu. Variabel bisa jadi jamak. Hanya saja, menempatkan satu variabel yang menonjol juga tak jauh-jauh dari margin error-nya.

Di Turki dan juga di negeri Timur Tengah lainnya, kini ada hantu yang bergentayangan. Hantu itu adalah ateisme. Kendati belum terang-terangan, tetapi jumlahnya secara statistik kabarnya terus meninggi. Di Turki, Mesir atau Arab Saudi fakta jumlah mereka yang ateis terus menanjak. Minimal dalam kategori mereka yang mengaku sudah terbebas dari praktek keagamaan. Mereka yang ateis di sana juga sembunyi-sembuyi. Sebabnya, mengekspresikan sebagai ateis di Timur Tengah artinya bunuh diri. Tak ada exit untuk menyalurkan keateisannya. Kalau berani, ya seperti fakta seorang gadis remaja yang lari dari keluarganya di Saudi untuk mencari suaka di negeri Barat. Kilahnya, dia begitu terkekang dan sering mendapatkan kekerasan dari keluarganya yang memegang teguh ajaran Islam.

Cerita konversi ke ateis di Timur Tengah dalam banyak amatan ternyata tak lepas dari fakta akibat gelombang radikalisme yang menyayat-nyayat. ISIS dipandang sebagai biang kerok representasi pandangan keagamaan yang begitu puris dan brutal. Mereka yang lari dari agama, memandang adanya fakta bahwa agama telah menjadi penyebab tumbuhnya radikalisme dan akhirnya chaos yang memporakporandakan negara seperti di Suriah, Irak, dan Yaman. Tawuran antar sekte juga fakta dari adanya kekacauan berdarah. Para ulama militan di negeri para nabi ini, faktanya telah menerbitkan kitab-kitab yang menfatwakan bolehnya secara syariat untuk melakukan pembunuhan. Terbitlah kitab “Fiqh al-Dam’, yang bukan fikih tentang darah haid, tapi fikih bolehnya melakukan pembunuhan. Juga buku yang yang disusun oleh Syeikh Mahmud bin Husein bertajuk ‘Memenggal Kepala Bolehkah Menurut Islam?”. Dalam buku ini justru melegitimasikan berdasar agama absahnya memenggal kepala. Maka ISIS yang hobi penggal kepala jelas diatas angin. Kalau soal bom bunuh diri, rasanya fakta yang sudah ‘biasa’ dikalangan para jihadis mendapatkan SOP-nya dari para ulamanya.

Dalam berbagai analisis, ateisme merebak jikalau agama semakin sulit dipisahkan dari politik. Jenis ateisme ini mungkin saja masih dalam kategori seperti dipilah oleh Ignace Lepp sebagai ‘ateisme atas nama nilai’, bukan ‘ateisme ontologis’. Seorang peneliti Timur Tengah yaitu Tamer Fouad dalam artikelnya “The Arab Spring and The Coming Crisis of Faith” (2012), mungkin bisa membuat terbelalak. Apa yang dihasilkan dari surveinya itu di Turki, secara ‘qiyas aulawiy’ nyaris sama yang terjadi di Indonesia saat ini, yaitu fakta gelombang pasang militansi keagamaan seiring dengan tumbuhnya ateisme yang mengendap-endap.

Menurut Tamer, ada dua faktor penyebab munculnya gelombang ateis di Turki dan juga jazirah Arab. Fakta terjadinya secara massif pembunuhan, pemerkosaan, hingga pembakaran rumah ibadah yang terjadi di banyak negara Timur Tengah. Fakta ini memantik masyarakat bingung dan merasa tersesat dengan keyakinan yang mereka peluk. Di Turki dalam survei tersebut tercatat ada 15 persen dari penduduk Turki yang memilih ateisme. Politisasi agama menjadikan salah satu penyebab masyarakat beralih melepas keyakinan keagamaannya.

Fakta, Lalu Apa!

Saya tak ingin menyorongkan ungkapan bombastis. Fakta adalah ‘sesuatu’ bukan gagasan. Ini bukan urusan yurisdiksi biologis, seperti makan atau tidur. Fakta sosial–pinjam Emile Durkheim–,menggambarkan bagaimana nilai, budaya dan norma mengendalikan tindakan sosial. Zaman ketika Durkheim hidup, dia tergelitik fakta bunuh diri yang terkait dengan kepercayaan keagamaan. Simpulannya, perbedaan tingkat bunuh diri menunjukkan fakta dan budaya sosial terhadap tindakan.

Fakta adalah otokritik. Turki menjadi muhibah yang reflektif untuk menatapi kembali negeri ini. Ada pelajaran menarik dari Turki setidaknya bagaimana mengelola kegiatan agama dalam artian ‘organized religion’. Di Turki kebijakan keras diberlakukan bagi rakyatnya yang melakukan tindakan beridentitas agama. Pun bagi mereka yang menista agama juga bernasib akan ditindak. Seorang komedian yang saat di panggung menngolok ulama, polisi langsung membekuknya. Sama halnya, seorang imam masjid yang mengadakan kegiatan keagamaan di pelataran masjid dengan mengundang banyak massa, akan ditangkap polisi karena dipandang mengganggu ketertiban umum. Sekulerisasi Turki katakanlah justru melindungi agama dari desakralisasi yang dilakukan pemeluknya. Agama adalah wilayah spiritual yang subtil dan sakral karenanya tidak boleh dijadikan tunggangan untuk menebar kebencian dan kekerasan. Di negeri kita, sekulerisasi sudah kadung disitigma sebagai dajjal yang terkutuk.

Beda di negeri kita. Agama yang mendapat tempat terhormat memuncahkan kebebasan tak terhingga. Khotbah-khotbah yang menghina simbol negara begitu leluasa menayang. Ujaran kebencian menghambur tanpa kendali. Ketika pemerintah bertindak, akan mudah meluncur serapah ‘Islam phobia’. Maju kena mundur kena, bagi pemerintah. Sementara masjid-masjid berdiri tegak menyebar diseantero negeri. Perda pun menetapkan setiap fasilitas publik harus menyediakan mushola. Begitu mudah orang untuk beribadah tanpa takut tekanan.

Masifnya keberagamaan puritan-skripturalis yang melahirkan tindakan kaku di negeri ini bisa berimbas antitesa; ateis. Keberagamaan karenanya perlu swakritik. Maka kedepankan kredo; Al-insaniyah qablal tadawun, menjadi manusiawi dulu baru beragama. karena, ‘iman yang humanis’ akan berbalas ‘iman yang kalis’.

Malam hening di rumah di depan laptop, terbayang wajah seorang anak laki-laki bersama bapaknya serta paras rupawan seorang anak perempuan kecil tengah mengemis di jalanan Taksim yang ramai. Saya hampiri dan ternyata ketiganya berasal dari Suriah. Ya, Suriah negeri yang tercabik-cabik oleh perang sipil dan sektarian itu. Banyak warganya lalu mengungsi ke negeri jiran salah satunya Turki. Mereka terlunta dan menyambung nyawa di negeri orang. Perang dan perang apapun parasnya termasuk akibat politisasi dan lalu berpeluk dengan keagamaan selalu membawa korban. Rakyat itulah korban terbesar, bukan para mentor, idiolog, politisi, presiden atau apparatus negara lainnya yang mungkin masih bisa berleha-leha. Saya makin siuman lalu teriak dalam batin; jangan sampai negeriku ini Indonesia terseret politisasi dan sektarianisasi. Sudahlah akhiri semua label-label langit dan bumi. Bangunlah iklim sehat serta hilangkan segala hujatan, kebencian dan tindakan nekat tak waras. Mari bersama merajut keindonesiaan yang cerdas dan damai.

Penulis adalah Dosen, Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  24  =  30