Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Binatang apa pula IFF ini? Illicit Financial Flows (IFFs) dalam bahasa Indonesia artinya aliran uang gelap. Tentu ini akan mudah dipahami kalau dikaitkan dengan isu penghindaran pajak (tax avoidance), pengelakan pajak (tax evasion) dan pencucian uang dari aktivitas kriminal.
Mari kita lihat bagaimana oknum-oknum pejabat bisa bergelimangan kekayaan yang patut diduga bersumber dari aliran keuangan gelap hasil kongkalikong perpajakan.
Mari kita coba uraikan sebagian data saja sebagai ilustrasi membayangkan heboh mega dana temuan PPATK.
Ekspor Batubara
Laporan dari lembaga penelitian dan advokasi kebijakan, “think and do tank”, berbasis organisasi masyarakat sipil, The PRAKARSA memperkirakan total penerimaan negara yang hilang akibat praktik misinvoicing pada sektor batu bara mancapai Rp.71,4 triliun. Angka tersebut diperoleh pada rentang 2012 hingga 2021. Perlu dicatat bahwa atas ekspor batu bara, Indonesia mengenakan PPh sebesar 1,5% plus royalti 5%. Akibat under-invoicing, terdapat kehilangan penerimaan dari ekspor batu bara senilai Rp.6,7 triliun per tahun.
Ekspor Nikel Ore
Dalam temuan yang diolah oleh Direktorat DNA KPK, terdapat temuan dugaan ekspor nikel di luar ketentuan. Dengan asumsi bahwa nikel yang diekspor merupakan low grade (kadar <1,7%), terdapat selisih atau kelebihan ekspor pada 2017 dan 2019, dengan nilai total 358 ribu WMT. Sehingga dimungkinkan tidak hanya nikel kadar rendah, namun terdapat nikel kadar tinggi yang diekspor pada periode relaksasi 2017-2019.
Data hasil analisis lainnya, ditemukan bahwa dari sampling 400 vessel di pelabuhan bongkar China pada tahun 2017-2019, hasil temuan Surveyor SGS menyimpulkan 62% dari 248 vessel memuat nikel dengan kadar nikel di atas 1,7%, sementara 25% dari 100 vessel memuat nikel dengan kadar di atas 1,8%. Dari jumlah tersebut terdapat 18 vessel dari Indonesia yang mengangkut kurang lebih 31 juta ton nikel dengan kadar di atas 1,7%.
Dalam temuan lainnya terdapat perbandingan data HS Code 2604, antara impor yang dirilis oleh Tiongkok dan data ekspor Indonesia yang menunjukkan masih terdapat nikel dalam bentuk ore (bijih) yang diterima oleh Tiongkok pada periode 1 Januari 2020 hingga laporan ini dirilis. Artinya ekspor ilegal bijih nikel sampai saat ini diduga masih terjadi meskipun larangan mutlak ekspor bijih nikel telah ditetapkan.
Sejak Januari 2020, sejumlah sekitar 4 juta WMT nikel dengan HS Code 2604 dilaporkan diterima oleh Bea Cukai Tiongkok dari Indonesia, dengan nilai USD229,8 juta atau sekitar Rp.3,2 triliun. Dari angka tersebut, negara kehilangan potensi penerimaan dari sisi royalti, bea keluar, dan penerimaan negara lain akibat bijih nikel yang seharusnya dapat dilakukan proses pemurnian namun diekspor secara ilegal. Berdasarkan berbagai temuan tersebut, dengan skema Peningkatan Nilai Tambah (PNT) untuk nikel kadar 1,7% maka negara kehilangan potensi royalti dan bea keluar sebesar Rp.996 miliar pada 2019.
Cukai Rokok
Hasil kajian lembaga riset Indodata tahun 2021 dinyatakan bahwa peredaran rokok ilegal mencapai 26,30%, atau estimasi potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal adalah sebesar Rp.53,18 triliun per tahun. Kalau pihak riset mengetahui, kan lucu kalau aparat Bea Cukai tidak tahu. Apa mungkin mereka terlalu sibuk kejar target pajak yang ditetapkan menterinya.
Investasi Bodong
Laporan Satgas Waspada Investasi (SWI), total kerugian akibat praktek investasi ilegal mencapai Rp.109 triliun sepanjang tahun 2022 atau meningkat 44 kali lipat dari tahun 2021.
Baca juga: Mengapa AS Perlu Hancurkan Rusia dan China, Kebutuhan Brentwoods II (Bagian 1)
Berbagai bisnis keuangan berikut ini bersinggungan dengan OJK, seperti, Kegiatan Equity Crowd Funding atau Securities Crowd Funding tanpa izin, Penawaran saham dengan skema money game, duplikasi website atau nama perusahaan berizin, kegiatan penasihat investasi tanpa izin, dan hampir semua pelaku adalah perusahaan yang punya NPWP.
Baca juga: Mengapa AS Perlu Hancurkan Rusia dan China, Kebutuhan Bretton Woods (Bagian 2)
Nah, kalau sampai ada korban senilai Rp.109 triliun per tahun, itu artinya patut dipertanyakan mengapa sampai terjadi kelalaian dan cenderung pembiaran oleh aparat Pajak? Dan sebagian besar korban tidak pernah mendapatkan uang mereka kembali.
Weleh weleh weleh…..
*Peneliti LAPEKSI