Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Banyak orang kaget Arab Saudi – Iran berdamai. Bagaimana mungkin Arab Saudi yang bermazhab Sunni bisa berdamai dengan Iran bermazhab Syiah. Tapi itulah yang terjadi berkat diplomasi damai China. Kesepakatan itu diumumkan setelah empat hari pembicaraan yang sebelumnya dirahasiakan di Beijing antara delegasi kedua negara tersebut.
Selama ini tercatat beberapa kali perundingan perdamaian antara Iran dan Arab Saudi. Beberapa tahun belakangan ini sejak Pangeran MBS mengontrol politik dan memegang posisi Perdana Menteri, terjadi perubahan besar paradigma politik di Arab Saudi. Wahabi dihapus dari sistem politik Kerajaan Arab Saudi, maka sejak itu Arab Saudi mulai melunak pada Iran. Beberapa permintaan Iran dipenuhi. Saudi mengijinkan kembali orang Iran berkunjung ke Makkah dan Madinah. Arab Saudi tidak lagi mendanai Iran International, saluran berita berbahasa Persia penentang Republik Islam Iran.
Arab Saudi harus menarik diri sepenuhnya dari Yaman. Mengakui gerakan Ansarallah (Houthi) sebagai otoritas yang sah di Yaman. Teheran juga meminta Riyadh untuk berhenti mendukung kelompok oposisi Iran termasuk Mujahidin-e Khalq, kelompok etnis Arab Al-Ahvaziya, dan kelompok militan islam salafi Jaish al-Adl di Baluchistan. Iran menganggap ketiga organisasi tersebut teroris. Selain itu, Iran meminta Arab Saudi untuk mengurangi tekanan terhadap minoritas Syiah di negara itu dan mengizinkan anggotanya untuk mengunjungi kota suci Masyhad di Iran.
Tapi bukan hanya karena perubahan paradigma politik saja sampai Arab Saudi bersedia menerima sarat damai dari Iran. Penyebab lain adalah dua tahun upaya AS yang gagal untuk menghidupkan kembali kesepakatan 2015 yang bertujuan untuk menghentikan Teheran memproduksi bom nuklir. Upaya itu dilawan keras oleh otoritas Iran. Protes dan sanksi keras AS terhadap Teheran atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia tidak mempan. AS gak berkutik. Bagi Arab Saudi, kegagalan AS itu sebagai isyarat bahwa AS tidak punya kekuatan politik untuk mengerahkan sumber dayanya menekan Iran. Sementara Iran semakin mempercepat program nuklirnya. Berdamai adalah jalan terbaik untuk stabilitas politik dalam negeri Arab Saudi.
Namun Arab Saudi tidak begitu saja percaya dengan Iran. Arab Saudi perlu pihak tengah yang bisa menjamin proses perdamaian itu. Tadinya Arab Saudi dan Iran menggunakan Perdana Menteri Mustafa al-Kadhimi, sebagai fasilitator. Pada tahun 2022, mereka telah mengadakan lima putaran pembicaraan intensif di Baghdad. Namun, negosiasi terhenti setelah al-Kadhimi digantikan oleh Mohammad Shia al-Sudani sebagai perdana menteri. Arab Saudi tidak percaya kepada Sudani. Frustrasi dengan jeda tersebut, Saudi meminta China untuk berperan sebagai mediator. Permintaan itu disampaikan ketika Presiden Xi Jinping mengunjungi Riyadh pada Desember 2022. Xi menyampaikan pesan Riyadh ke Teheran, yang menerima tawaran China.
Begitu banyak permintaan Iran, dan Saudi setuju. Dengan kompensasi satu saja, yaitu Arab Saudi butuh jaminan keamanan. China menjamin itu. Tentu China tidak menekan Iran dengan senjata. Tapi China memberikan kemudahan pembiayaan proyek dan menyediakan saluran pembayaran minyak. Menteri Perminyakan Iran Javad Owji mengatakan sehari setelah pengumuman di Beijing bahwa China komit akan terus jadi buyer utama minyak Iran walau AS masih embargo, dan berjanji menggelontorkan
dana untuk mega proyek B2B Iran. China tentu akan efektif mengendalikan program nuklir Iran. Itu lebih rasional dibandingkan cara AS dengan sok jagoan todongkan pistol. Saudi percaya itu.
Adanya kesepakatan damai ini semakin memudahkan China ambil bagian di Yaman. Meredanya perang sipil Yaman dapat melancarkan proses revitalisasi pelabuhan Yaman yang akan menjadi bagian dari proyek Belt dan Road Initiative China (BRI).
BRI adalah kegiatan ekonomi, diplomatik, dan geopolitik yang beragam yang sebelumnya bernama “New Silk Road”. Pada akhirnya, jalur bisnis China ke negara Timur Tengah itu akan semakin terbuka lebar.
Nah, manfaat apa yang dapat diambil dari fenomena politik di Timur Tengah ini?
Baca juga: Illicit Financial Flows
Ali Wyne a Senioí Analyst, Global Macío-Geopolitics · Euíasia Gíoup, dalam bukunya “America’s Great-Power Opportunity: Revitalizing U.S. Foreign Policy to Meet the Challenges of Strategic Competition” mengatakan bahwa dunia telah berubah dalam beberapa dekade terakhir melalui globalisasi dan munculnya ancaman trans-nasional, maka kolaborasi sangat mendesak dilakukan. Kata kuncinya adalah kolaborasi.
Baca juga: Mengapa AS Perlu Hancurkan Rusia dan China, Kebutuhan Brentwoods III (Bagian I)
China memainkan perannya dalam diplomasi internasionalnya melalui visi afirmatif berdasarkan berbagai keunggulan kompetitifnya, seperti kemampuan produksinya, teknologi, pasar, jumlan penduduk, mata uang stabil dan banyak teman. AS perlu berubah mengikuti langkah China. Dan kalau itu terjadi, maka kolaborasi akan melahirkan perdamaian dunia.
*Penelliti LAPEKSI