Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Temuan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) BPKP, luas izin kebun kelapa sawit tercatat ada 20,4 juta hektare, yang tertanam 16,8 juta hektare, yang belum bayar pajak ada 9 juta hektare.
Penyebabnya karena banyak pengembangan kebun ilegal dalam kawasan hutan oleh perusahaan dan pembiaran oleh negara. Modus lain, pabrik minyak sawit (PKS) bekerja sama dengan koperasi atau kebun masyarakat yang tidak terdaftar. Akibatnya, ada produksi tandan buah sawit (TBS) yang tidak masuk radar pajak, yang menghitung PPN berdasarkan kapasitas produksi pabrik. Ada juga perusahaan yang mengembangkan kebun di luar izin melalui skema plasma dan kemitraan dengan Koperasi Kredit Primer Anggota (KPPA).
Ditingkat korporat penggelapan pajak itu terjadi secara sistematis. Ada beberapa modus yang dilakukan oleh WP. Pertama, WP badan yang mengekspor CPO dan produk turunannya menggunakan perusahaan special purpose vehicle (SPV) untuk melakukan praktik transfer pricing. Caranya, catatan transaksi ekspor yang ada di dalam dokumen ekspor (laporan surveyor dan nota pemberitahuan ekspor) dibuat dengan perusahaan SPV di Singapura. Padahal, negara tujuan ekspornya adalah India. WP badan membuat transaksi bayangan (shadow trading). Dan, tentu harga ekspor di dalam nota transaksi diturunkan (downgrade) dari harga riil.
Nah ternyata uang dari devisa hasil ekspor tidak langsung dimasukkan ke dalam negeri tapi disimpan di negara suaka pajak dengan menggunakan rekening SPV. Sehingga, otoritas perpajakan kesulitan melacak dana tersebut. Lalu, banyak pemilik perusahaan menyimpan harta dan aset mereka di negara suaka pajak dengan menggunakan SPV. Mereka menikmati berbagai fasilitas perpajakan yang minim dan fasilitas kerahasiaan simpanan dari otoritas setempat.
Temuan BPKP atas 9 juta hektar yang belum bayar pajak menunjukkan betapa brengseknya pengelolaan keuangan negara. Anda bisa bayangkan. Andaikan 1 hektar itu pajaknya Rp. 1 juta. Maka 9 juta hektar itu sama dengan Rp. 9 triliun. Tapi apa iya pajak hanya sebesar itu per tahun. Apalagi kalau dikaitkan dengan loss opportunity kemakmuran, seperti kasus Surya Dharmadi, nilainya Rp. 78 Triliun untuk luas lahan 37.000 hektar. Kalau kasus itu dijadikan rujukan, bakal gak kehitung besarnya kerugian negara.
Penyelesaiannya menurut usul LBP kepada presiden, tidak usah dibawah ke ranah hukum. Cukup dipenalti aja. Berapa yang ditentukan Kementerian LHK, dia bayar. Kalau tidak bayar diambil pemerintah. Kalau dibawa ke pengadilan, seperti kasus BLBI, gak selesai-selesai melawan praktek mafia di lingkungan peradilan. Jadi bikin sederhana saja.
Baca juga: Kisah Restrukturisasi Waskita Karya
Bayangkan seandainya presiden setuju atas usulan tersebut, maka sebenarnya pemerintah sendiri udah distrust dengan hukum. Artinya, kita tidak sedang membangun peradaban lebih baik. Siapa yang bisa jamin cara sederhana itu lebih efektif dibandingkan proses hukum? Jangan-jangan hanya modus untuk peras pengusaha sawit untuk ongkosi orang jadi presiden atau untuk chaos Politik.
*LAPEKSI