Channel9.id – Jakarta. Sejumlah pelaku usaha di berbagai sektor mengeluhkan lambatnya proses izin AMDAL dan izin lingkungan pasca diterbitkannya aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, ada sekitar 4.000 AMDAL yang masih tertahan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tak sedikit perusahaan yang sudah menunggu tiga sampai empat bulan izin lingkungan tersebut namun belum juga selesai.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menegaskan bahwa KLHK seharusnya dapat mengatasi keluhan masyarakat tersebut dan meresponnya dengan cepat. Sebab, menurutnya, proses pengurusan AMDAL merupakan core business atau urusan inti dari KLHK.
Najih juga menyebut lambannya proses izin AMDAL ini dapat berpotensi terjadinya mal administrasi.
“Sebenarnya prosedur dan proses pengurusan AMDAL itu kan proses yang bukan hal baru. Itu sudah menjadi core bussiness dari KLHK. Jadi kalau ada keterlambatan itu berpotensi menimbulkan mal administrasi. Karena itu, yang perlu ditelaah kemudian adalah apa yang menjadi keluhan masyarakat ini, terutama dari pengurus perizinan, perlu direspon secara cepat oleh Kementerian LHK,” kata Najih kepada media, Senin (15/5/2023).
Ia menilai, lambannya proses izin AMDAL sehingga menghambat pelaksanaan bisnis merupakan bentuk pola lama yang berpotensi menimbulkan mal administrasi. Menurut Najih, perubahan yang diperlukan harus dilakukan dengan cara menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat tentang bagaimana prosedur mengurus izin AMDAL dan berapa lama waktu yang dibutuhkan.
“Ini karena mungkin dalam pelayanan itu masyarakat belum memahami bagaimana proses dan prosedur yang ditetapkan, syarat-syarat pengurusannya seperti apa, kemudian di bagian apa ini contact person yang dikontak untuk melihat perkembangan proses perizinannya sudah sampai mana, dan sebagainya,” ungkap Najih.
“Memang perlu transparansi seperti itu kalau ingin ada percepatan, sehingga kalau ada proses pengurusan yang berbelit-belit, itu ada indikasi adanya mal administrasi, penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, dan berpotensi terjadi misalnya suap-menyuap, dan sebagainya,” sambungnya.
Sebagai informasi, saat ini ada tiga PP turunan UU Cipta Kerja yang terbit berkaitan dengan izin AMDAL, yakni PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta PP 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
Di samping itu, beredar isu bahwa izin AMDAL yang lambat setelah UU Cipta Kerja terbit ditengarai adanya permainan untuk memuluskan proses izin dengan harga miliaran rupiah.
Terkait hal itu, Najih mulanya menyebutkan, ide dasar pembentukan UU Cipta Kerja yaitu proses perizinan yang serba transparan dan terbuka. Namun, lanjut Najih, jika proses suatu perizinan tidak berdasarkan prinsip tersebut, maka apa yang diharapkan dari UU Cipta Kerja tidaklah berjalan.
“Berarti (UU Cipta Kerja) malah menimbulkan potensi adanya KKN di situ, korupsi, kolusi, nepotisme, kongkalikong, kalau yang dekat diproses lebih cepat, kalau yang bayar diproses lebih cepat, dan sebagainya,” tutur Najih.
Ia pun mempertanyakan, apakah mekanisme pelayanan kepada masyarakat yang diatur dalam UU Cipta Kerja sudah lebih transparan, terbuka, tanpa biaya berat, dan dapat dievaluasi.
“Kalau ada informasi seperti itu (AMDAL lambat untuk proses izin miliaran rupiah),tentu ada indikasi bahwa proses pelayanan ini tidak ada perbedaan antara sebelum UU Cipta Kerja dan setelahnya,” ungkap Najih.
Baca Juga :KLHK Pastikan Proses Verifikasi Izin AMDAL dan Lingkungan Terus Berjalan