Channel9.id – Denpasar. Masyarakat Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan, Bali, masih dihadapi dengan polemik perpanjangan masa Hak Guna Bangunan (HGB) yang diajukan PT Bali Turtle Island Development (BTID). Pasalnya, dari 60 surat HGB yang diajukan, ada 13 HGB yang di antaranya dianggap bermasalah.
Permohonan itu dilakukan PT BTID untuk memperpanjang puluhan HGB yang sudah berjalan 30 tahun dan masa berlakunya habis pada Juni 2023. Namun di balik rencana itu, ada 13 bidang tanah HGB di Jalan Lingkar di Kelurahan Serangan yang merupakan milik publik.
Adapun 13 HGB yang dipermasalahkan itu di antaranya; HGB Nomor 13 berisi fasilitas jalan umum, jalan menuju ke Pura Dalem Sakenan, Candi Bentar dan juga ada toilet umum di Pura Dalem Sakenan. HGB Nomor 21, Nomor 79 yang ada fasilitas jalan umum dan juga jalan menuju ke Pura Dalem Sakenan. HGB Nomor 88, Nomor 86, Nomor 87, Nomor 84, Nomor 81, Nomor 83, Nomor 82, dan Nomor 20 yang masing-masing ada fasilitas jalan umum.
Kemudian, HGB Nomor 19 berisi fasilitas jalan umum serta Kuburan Hindu, dan HGB Nomor 4 ada Kuburan Islam milik warga Kampung Bugis Serangan.
Terkhusus HGB Nomor 81, 82 dan 83, disebut merupakan milik dua warga Serangan berdasarkan Pipil mereka. Seiring waktu, tanah tersebut malah ber-HGB BTID selaku investor dalam pengajuan perpanjangan HGB.
Masyarakat Adat Serangan pun hingga saat ini masih melakukan penolakan atas pengajuan 13 HGB tersebut. Pihak PT BTID dan pihak Desa Adat Serangan memang sempat dipertemukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Denpasar pada Selasa (11/10/2022). Namun, pertemuan itu masih buntu alias belum membuahkan hasil hingga saat ini.
Bendesa Kelurahan Serangan I Made Sedana mengungkapkan masyarakat Adat Serangan bahkan sempat dikriminalisasi dengan tuduhan penyerobotan lahan. Padahal, menurutnya, sebelum pihak PT BTID melakukan reklamasi dan mengantongi HGB, status tanah di Pulau Serangan merupakan milik negara.
Sebagai informasi, Pulau Serangan telah menyatu dengan Pulau Bali sejak bagian laut pulau itu direklamasi pada awal dekade 1990-an. Kini, sebagian besar Pulau Serangan dimiliki oleh PT BTID.
Luas Pulau Serangan sebelum direklamasi hanya seluas 101 hektare. Setelah direklamasi, luasnya menjadi 491 hektar. Meski diperluas, masyarakat tetap hanya menempati 101 hektar, sementara 491 hektare luas pulau itu dikuasai PT BTID.
“Bahkan kami pernah di ancam untuk dipenjarakan. Sempat kami dilaporkan penyerobotan lahan, padahal status lahan itu kita lahir dari sini. Sebelum BTID masuk, lahan itu sudah ada. Tapi tiba-tiba BTID punya HGB. Kami hanya menindaklanjuti daripada pemimpin kami dulu, mengontrakan di sana. Tahu-tahu lahan itu milik BTID,” ujar Sedana dalam kesempatan yang sama.
“Kebetulan kami menjabat, kebetulan orang itu sudah habis kontrak mau memperpanjang kepada kami itu sudah ada akta notarisnya. Secara otomatis kan melanjutkan yang ada. Di situ lah kami dijebak, dianggap menyerobot lahan BTID. Padahal kalau kita menelusuri itu bukan milik BTID, itu status tanah negara,” sambungnya.
Salah satu HGB yang dimohonkan perpanjangannya oleh PT BTID adalah jalanan umum yang sudah diaspal dan termasuk dalam aset pemerintah kota. Sedana mengatakan, saat pemerintah kota memohonkan pembebasan HGB tersebut, PT BTID justru berkelit.
“Kemarin itu pemerintah memohonkan agar dilepaskan, dimasukkan aset pemerintah agar kedepannya pemeliharaan aspal tersebut bisa dibiayai oleh pemerintah. Akhirnya BTID katanya karena ini perusahaan konsorsium, jadi untuk mempertemukan owner-owner ini susah,” ujarnya.
Berbagai fasilitas umum yang kemudian diklaim oleh PT BTID membuat masyarakat, khususnya nelayan, kesulitan untuk mencari nafkah. Selain itu, beberapa akses masyarakat untuk bersembahyang ke pura juga semakin sulit.
Sedana pun berharap direksi PT BTID maupun pemerintah dapat memberikan akses tersebut. Sebab, ia menilai saat ini Pulau Serangan justru terkesan eksklusif, bahkan bagi masyarakat lokal.
“Memang sih sudah diberikan (akses ke pantai), tetapi kan ada juga nelayan baru, kan harus melapor, bikin kartu, kayak eksklusif, kayak kita ke negara lain. Jangankan kita, pak camat mau ke sana aja dilarang,” pungkasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Head of Communications and Community Relations PT BTID Zakki Hakim menjelaskan, untuk warga yang masuk ke dalam kawasan PT BTID harus sepengetahuan protokol petugas keamanan melalui penggunaan ID khusus dan rompi khusus bagi petani atau nelayan sebagai penanda warga desa setempat.
“Dari 3.500 warga ada yang mendaftar sekitar 400 orang, pengurusan ID pun tidak kami persulit pihak nelayan, Kelian Ketua Lingkungan, jadi bukan hanya petani rumput laut saja, di dalam kawasan ada 8 pura bebas masuk asalkan pakai baju adat memang upacara, untuk yang bersembahyang tidak perlu ID,” ujarnya.
Ia pun menyampaikan permohonan maaf dari PT BTID dan meminta masyarakat yang bertanya-tanya untuk bisa bersabar dan berterimakasih atas ketertarikan masyarakat terhadap Desa Serangan.
“Kami selama ini justru kami perlahan membuka seiring orang bertanya dari November 2022 kami buka pelan-pelan, sekarang ada titik-titik buka untuk umum, kami berterima kasih atas ketertarikan warga Bali yang sangat penasaran dengan itu, kami mohon bersabar kami buka bertahap Kura-kura Bali diharapkan membawa manfaat ekonomi, pariwisata, kebudayaan, keberlanjutan bagi Bali,” pungkasnya.
Baca Juga : Masyarakat Adat Serangan Kecam Rencana Pembangunan Pelabuhan Marina oleh PT BTID
Baca Juga : Terkena Dampak Reklamasi, Habitat Penyu Serangan Sempat Hampir Punah