Channel9.id – Denpasar. Kehadiran Turtle Conservation and Education Center (TCEC) di Pulau Serangan, Denpasar, Bali, menjadi sangat penting bagi kelestarian penyu. Meskipun hanya menempati 2,4 hektar dari 491 hektar total Pulau Serangan, TCEC berhasil menjadi pusat konservasi penyu dan meningkatkan jumlah sarang penyu yang ada di pulau tersebut.
Kepala TCEC I Made Sukanta mengungkapkan, kehadiran penyu untuk bertelur di Pulau Serangan sempat mengalami tren penurunan akibat reklamasi yang dilakukan oleh BTID di pulau tersebut. Menurutnya, pulau yang terletak di sebelah timur Pelabuhan Benoa itu merupakan tempat alami bersinggahnya penyu untuk bertelur.
Untuk diketahui, Pulau Serangan merupakan objek wisata yang dikenal dengan konservasi penyu, sehingga kerap disebut sebagai ‘Turtle Island’.
Mulanya, Serangan merupakan pulau yang terpisah dari Pulau Bali. Kini, Pulau Serangan telah menyatu dengan Pulau Bali, yakni sejak bagian laut pulau itu direklamasi pada awal dekade 1990-an. Setelah reklamasi, sebagian besar Pulau Serangan dimiliki oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID).
“Dulunya Pulau Serangan adalah tempat persinggahan penyu untuk bertelur. Semenjak ada reklamasi memang sempat ada turun drastis karena ada perubahan lingkungan,” ujar Kanta saat ditemui Channel9.
Meski sempat menurun, lanjut Kanta, jumlah penyu yang bersinggah di Pulau Serangan untuk bertelur kembali meningkat sejak dibentuknya TCEC pada 2006 silam dan melakukan konservasi hingga saat ini.
Berdasarkan catatan TCEC, Kanta mengatakan ada 40 sarang penyu pada 2022. Kemudian, bertambah menjadi 61 sarang sejak pesisir Pulau Serangan mulai sehat atau membaik setelah dihantam reklamasi.
“Tapi dengan adanya kegiatan konservasi dari tahun 2006, secara pelan-pelan akhirnya penyu itu datang mendarat. Memang awalnya hilang, sempat karena pantai sudah hancur, tapi untuk tahun ini ya lumayan lah dari data kita di sini sudah ada 61 sarang penyu sudah mendarat,” ungkapnya.
Kanta mengakui pihaknya masih berkoordinasi dengan pihak BTID ketika hendak melakukan monitoring penyu yang bersarang di wilayah tersebut. Untuk bisa memasuki kawasan, TCEC tetap harus mengantongi izin karena wilayah BTID tidak diperuntukan kepada masyarakat umum.
“Makanya kita untuk kegiatan monitoring untuk anak-anak mahasiswa, makanya kita ajak ke luar Pulau Serangan karena akses masuk ke dalam untuk orang umum belum diizinkan karena masih dalam status mungkin penataan atau ada hal yang terjadi di dalam. Mungkin itu alasannya,” sebut Kanta.
Lebih lanjut, ia menuturkan, terdapat 200 sarang penyu yang ada di wilayah konservasi penyu di Bali. Kanta memperkirakan, ada 20.000 telur penyu yang kemungkinan 70 sampai 80 persennya menetas.
Dari penyu-penyu yang menetas itu, lanjut Kanta, TCEC menyisihkan 100 ekor penyu yang akan dijadikan sarana upacara religi. Sedangkan seluruh sisanya akan dilepaskan ke laut.
Kendati demikian, Kanta berujar pihaknya tak diizinkan melepas penyu ke laut di wilayah milik BTID.
“Saat ini kita masih melepasnya di sekitaran wilayah Serangan. Memang kita harus kembalikan penyu itu ke alam, ke laut. Dulu memang kita sempat melepasnya di dalam kawasan sebelum mungkin adanya penataan. Tapi setelah ada penataan, tidak diizinkan memasuki kawasan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Kanta mengatakan sebagian besar pesisir Bali sudah menjadi wilayah konservasi penyu. Menurutnya, hal ini menjadi prestasi bagi TCEC karena komitmennya untuk memberikan sosialisasi dan edukasi tentang pentingnya menjaga kelestarian penyu.
“Sekarang kan sudah ramai kegiatan konservasi karena kita selalu mengajak masyarakat untuk melakukan kegiatan penyelamatan penyu. Jadinya sudah hampir semua tempat di Bali ada tempat konservasi penyu, kecuali Bangle. Semua daerah pesisir Bali sudah semua. Karena kita selalu mensosialisasi bersama teman-teman se-kabupaten akhirnya banyak jejaring kita sekarang,” pungkasnya.
Baca juga: TCEC Serangan: Penjaga Gerbang Kelestarian Penyu Sekaligus Fasilitator Ritual Religi Warga Bali
HT