Channel9.id – Jakarta. Gadis asal Dusun Merendeng, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) bernama Baiq Cici Dwi Artasih berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Ia berhasil meraih juara kedua dalam Lomba International Coding Interperince (ITPC) di Hong Kong.
Perempuan kelahiran Kuta, Lombok Tengah ini menempuh kuliah di Jurusan Software Technology, Fakultas Teknik, Yangzhou Polytechnic College (YPC), China. Sejak kecil, Cici memang sudah merantau. Ia menempuh pendidikan tingkat SMP dan SMA di Mataram, Lombok. Selepas SMA, Cici berhasil mendapatkan beasiswa sehingga bisa berkuliah di China.
Cici menceritakan bagaimana awalnya dia bisa mengikuti lomba tingkat internasional tersebut pada beberapa waktu lalu. Mulanya, ia mengaku diminta oleh rektor kampusnya untuk mengikuti lomba coding internasional di Hong Kong.
Saat itu Cici sempat menolak karena takut mengecewakan pihak kampus. Namun, rektor kampusnya itu tetap meyakinkan Cici sehingga akhirnya Cici berani mengikuti lomba bergengsi itu.
“Awalnya itu dipilih di kampus, lagi kelas, terus dosennya bilang ‘disuruh ke Rektor kampus, kamu bertiga (Cici dan temannya) ikut ke Hongkong’ tanya ngapain, lomba,” ungkap Cici dalam podcast di kanal Youtube Lombok Post Official, dikutip Minggu (21/4/2024).
“Awalnya menolak karena takut mengecewakan kampus juga, takut kalah segala macam ya pesimis, jiwa-jiwa Indonesia masih ada kan. Terus (kata rektor) ‘enggak apa-apa, kamu ikut lomba aja dulu. Apapun hasilnya ke depannya kamu tetap membanggakan bagi kita semua’ katanya. Yaudah ikut,” sambungnya, bercerita.
Lomba tersebut terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama, Cici duduk di posisi ketiga. Kemudian di tahap kedua inilah Cici berhasil merebut juara kedua.
ITPC itu sendiri diikuti oleh 40 mahasiswa dari 28 universitas ternama di dunia, seperti dari Jepang, Kazakhstan, Rusia, dan Amerika. Para peserta diminta untuk membuat aplikasi dalam jangka waktu tertentu.
Atas prestasinya itu, Cici mengaku sudah ditunjuk oleh kampusnya untuk kembali bertanding pada tahun 2025 mendatang. Namun, hal itu masih dipertimbangkan oleh pihak kampus.
“Itu Lomba tingkat bawah lah Intinya kalau di sana dan udah mau ditunjuk lagi tahun depan, tapi masih dipertimbangkan,” tutur Cici.
Mahasiswi semester 7 dengan IPK 4,0 itu mengaku tertarik menggeluti dunia coding karena melihat peluang kerja yang terbuka lebar di bidang tersebut, terlebih lagi di Indonesia. Selain itu, ia juga ingin mendobrak stigma bahwa coding tidak hanya digeluti oleh laki-laki saja.
“Karena menurutku coding ke depannya kan bisa peluangnya buat kerja tuh tambah banyak dibutuhkan, apalagi di negara Indonesia kan. Terus menambah pengalaman juga,” jelas Cici.
“Terus biar enggak kesannya cowok-cowok aja yang mengikuti coding, biar ada nih cewek yang mengikuti jurusan coding ini walaupun kan identik dengan cowok,” sambungnya.
Meski begitu, Cici mengakui pada awalnya ia tidak memiliki ketertarikan dengan coding. Ia mengaku ingin mengambil jurusan bisnis internasional. Namun, saat penjurusan di kampus, dosen Cici menyarankannya agar masuk jurusan Software Technology karena melihat bakat yang dimiliki gadis asal Lombok Tengah tersebut.
“Awalnya menolak juga dulu, takut enggak bisa, takut nilainya itu turun. Kan kalau di kampus, kalau turun IPK-nya bisa dikeluarkan. Kata dosennya, ‘kalau nilai kamu turun, berarti kamu yang enggak belajar, kamu harus mencintai pelajaran ini dulu, menekuni. Karena saya lihat kamu ada bakat terpendam di komputer,’” ungkap Cici.
Terkait pola belajar, Cici mengakui ada perbedaan besar jika dibandingkan dengan Indonesia. Di negara Tirai Bambu tersebut, Cici mengaku hanya mendapatkan waktu istirahat yang sangat singkat. Bahkan, untuk waktu tidur pun sudah dijadwalkan sedemikian rupa.
“Jadi kita tuh istirahatnya cuman sebentar, kayak misalkan aku jam 07.00 sampai jam 12.00 kelas, terus jam 14.00 atau jam 13.00 itu udah ke kampus kan. Jadinya kita cuman istirahat 15 menitan doang, 15 atau 1 jam. Terus ya udah, itu diisi sama ngerjain tugas, makan, itu pun kita buru-buru,” kata Cici.
“Terus enggak dikasih begadang juga. Kan tinggalnya itu di asrama, jadi jam 10 malam itu lampunya udah dimatiin, lampu segala macam, enggak boleh main handphone, jadi kita ada lampu belajar doang,” lanjutnya.
Dengan pola belajar yang ketat itu, Cici mengaku stres. Tetapi, seiring berjalannya waktu, ia mengaku sudah terbiasa dengan pola belajar seperti itu. Terlebih lagi, ia juga merasa termotivasi dengan melihat perjuangan orang tuanya selama ini.
“Sudah terbiasa, karena melihat perjuangan orang tua juga kayak kita capek, orang tua juga lebih capek. Kita cuman kerjaannya belajar, cuman itu doang, bukan ngerjain yang berat-berat kan, belajar,” ungkapnya.
Sayangnya, prestasi Cici di kancah internasional itu belum mendapatkan dukungan dari Pemerintah Daerah Lombok maupun pemerintah pusat.
“Sejauh ini belum sih (apresiasi pemerintah terhadap prestasi Cici), belum ada,” ujar Cici.
Lebih lanjut, ia pun berharap dirinya bisa menempuh pendidikan lebih tinggi lagi. Meskipun menempuh pendidikan di negeri seberang, ia berharap dapat bekerja di Tanah Air.
“Harapannya bisa menempuh pendidikan setinggi mungkin, membanggakan orang tua terutama. Terus bisa kerja juga di Indonesia karena kan enggak setiap saat orang tua tuh sehat segala macam kan, kita jauh. Apalagi kan aku dari SMP jauh kan, inginnya kerja di Indonesia,” pungkasnya.
HT