Oleh: Azmi Syahputra
Channel9.id-Jakarta. Melihat fenomena kegaduhan partai-partai pada kompetisi pemilu lalu, dibandingkan dengan perkembangan kekinian, tampak sebuah feomena yang mencemaskan. Di tengah begitu banyak warna dan dinamika politik tersebut, tampak sekali rakyat, khususnya pemilih, hanya dijadikan objek eksploitasi.
Rakyat pemilih dalam hal ini diekspolitasi emosinya oleh politisi dan pemegang kekuasaan. Para elit membiarkan pemilih atau rakyat sibuk dengan “simbol” dan saling menyerang melalui simbol-simbol itu. Bahkan mereka membuat anekdot seputar kompetisi politik dengan nada yang saling ejek. Ini bahaya. Emosi rakyat yang terus dimainkan pada akhirnya bisa meluber, bereskalasi, dan berpotensi menjadi konflik sosial.
Celakanya lagi, kebanyakan politisi hanya bermain pada persoalan tataran emosi. Bukan lagi tema dan solusi menuju keadilan rakyat kecil. Tidak menyajikan gagasan tentanng kesejahteraan sosial dan keadikan sosial.
Tak kurang dari Panglima TNI Hadi Tjahjanto sudah mengingatkan ihwal masalah ini. Mei 2019 lalu, Panglima menegaskan, akan ada peningkatan penyebaran berita hoax di media. Hoax disebar karena ada aktor ingin memanfaatkan situasi yang berkembang. Dan polarisasi yang terbentuk selama masa kampanye menyebabkan identitas primordial, kesukuan, agama, dan kesenjangan sosial dapat dimanfaatkan menimbulkan anarkisme massa.
Selanjutnya terjadi kerusuhan pada 21-22 Mei 2019. Sekelompok orang menolak hasil pemilu. Peristiwa yang dilakukan oleh sekelompok perusuh tersebut mengakibatkan adanya sembilan perusuh yang meninggal dunia
Setelah kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei 2019, potensi konflik pasca-pemilu dianggap masih dapat terjadi. Oleh karena itu, penegak hukum dituntut mampu mengelola perbedaan yang ada di tengah masyarakat dengan baik. Polisi harus mengetahui persis situasi di lingkungnnya dan mampu mengelola itu sehingga tidak menjadi sumber konflik.
Di sisi lain, profil masyarakat kita sangat plural. Menjadi tantangan tersedniri bagi aparat hukum untuk bisa mengontrolnya, memastikan agar pluralisme tidak menjadi sumber konflik. Itu sebabya, polisi wajib paham dan mampu menerapkan konsep democratic polising.
Di sisi lain, rakyat juga harus lebih dewasa. Mereka harus lebih sadar bahwa ada yang jauh lebih penting dari kontes pemilihan presiden. Yang utama adalah kewajiban menjaga persatuan dan kesatuan. Rakyat jangan mau dipermainkan. Jangan mau emosinya dieksploitasi.
Mulai saat ini, dan ke depannya, pemilih atau rakyat harus lebih taktis dalam berpolitik. Jangan mau terkontaminasi dan ikut dengan pola pengorganisasian perasaan. Jangan mau menjadi barang jualan eksploitasi emosial yang tidak terukur.
Sudah diketahui secara umum dalam politik tidak ada musuh yang abadi, yang ada adalah kepentingan, maka apapun akan dilakukan sepanjang frekwensi kepentingannya sama.
Maka dengan melihat kondisi arah dan gerakan partai partai politik saat ini menunjukkan bahwa partailah yang jadi dominan pengendali di republik ini bukan kedaulatan rakyat.
*Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia(Alpha)