Opini

Mengkritisi Sumber Penulisan Sejarah Perang Bubat

Oleh : Yanuar Iwan

Raja Hayam Wuruk bermaksud hendak mengambil putri Sunda, Dyah Pitaloka, sebagai permaisurinya. Setelah Putri tersebut dan ayahnya bersama-sama para pembesar dan pengiringnya sampai di Majapahit, terjadilah perselisihan. Gajah Mada tidak menghendaki perkawinan Raja Hayam Wuruk dengan putri Sunda itu dilangsungkan dengan begitu saja, ia menghendaki agar putri itu dipersembahkan oleh Raja Sunda kepada Raja Majapahit sebagai tanda pengakuan tunduk terhadap kerajaan Majapahit.

Para pembesar Sunda tidak setuju dengan sikap Gajah Mada tersebut. Akhirnya tempat kediaman orang-orang Sunda dikepung dan diserbu oleh tentara Majapahit. Terjadilah peperangan di Bubat yang menyebabkan semua orang Sunda gugur, tidak ada yang ketinggalan.

Episode sejarah perang Bubat yang dilukiskan didalam buku Sejarah Nasional Jilid II mengundang berbagai pertanyaan, selama ini yang digunakan sebagai acuan atau sumber sejarah Perang Bubat adalah Pararaton dan Kidung Sundayana, menurut Pararaton Perang Bubat terjadi pada tahun saka 1279 atau pada tahun masehi 1357.

Menurut Prof. Slamet Muljana, ada  beberapa ketidak sesuaian antara Pararaton dan Kidung Sundayana, yaitu:

1. Pararaton menyebutkan bahwa rombongan Raja Sunda datang ke Majapahit tanpa membawa putrinya.

2. Kidung Sundayana menyebutkan bahwa putri Sunda itu, telah diantar ke Majapahit.

3. Kidung Sundayana menyebutkan bahwa Raja Hayam Wuruk mangkat tidak lama setelah terjadinya Perang Bubat pada tahun saka 1279 atau pada tahun masehi 1357. Menurut Kakawin Negarakertagama tulisan Prapanca, pada tahun saka 1295, Prabu Hayam Wuruk masih mengeluarkan prasasti Panataran. Pararaton menyebutkan Prabu Hayam Wuruk wafat pada tahun saka 1311 atau tahun masehi 1389. Jadi 32 tahun sesudah Perang Bubat ( Muljana Menuju Puncak Kemegahan )

4. Kidung Sundayana menyebutkan bahwa setelah Perang Bubat Patih Gajah Mada wafat akibat kemarahan keluarga Raja dan orang-orang Majapahit, menurut Negarakertagama, Patih Gajah Mada wafat pada tahun saka 1286 atau tahun masehi 1364.

Berita Negarakertagama ini lebih dapat dipercaya dari  pada berita Pararaton yang mencatat tarikh tahun wafatnya Gajah Mada tahun saka 1290. Gajah Mada dan Prapanca hidup sezaman di Kerajaan Majapahit.

5. Negarakertagama tidak pernah menyebutkan terjadinya Perang Bubat hanya disebutkan bahwa Desa Bubat adalah suatu tempat yang memiliki lapangan luas, dan Raja Hayam Wuruk pernah mengunjunginya melihat pertunjukan  seni dan hiburan.

Dilihat dari metodologi sejarah terutama dalam tahap kritik internal dan kritik eksternal sumber dan bahan sejarah yang dijadikan pedoman adalah sumber sejarah yang terdekat dengan peristiwa itu terjadi, unsur didalam dokumen dianggap relevan dan dapat dipercaya ( kredibel ) apabila unsur itu paling dekat dengan apa yang telah terjadi.

Identifikasi terhadap si pembuat dokumen atau sumber sejarah perlu dilakukan untuk menguji keotentikkannya ( Sjamsudin, Metodologi Sejarah 1996 )

Sumber sejarah Majapahit yang terdekat dengan peristiwa-peristiwa penting di Majapahit adalah Negarakertagama tulisan Prapanca yang hidup sezaman dengan Gajah Mada dan ditulis pada sekitar tahun 1365 satu tahun setelah wafatnya Gajah Mada.

Pararaton walaupun sering dijadikan rujukkan tetapi tidak jelas yang menulis.

Kidung Sundayana ditulis pada tahun saka 1775 atau tahun masehi 1853 dan tidak jelas juga siapa yang menulisnya, hanya dipopulerkan oleh CC Berg pada awal 1920-an. Kidung Sundayana tidak menyebutkan nama Raja dan putri Sunda yang gugur dalam Perang Bubat, perlu dipertanyakan apakah benar yang bahwa yang gugur di lapangan Bubat itu adalah Raja Linggabuana dan putri Dyah Pitaloka ?

Kidung Sundayana berisi uraian romantis mengenai Perang Bubat tetapi isinya banyak berbeda dengan piagam-piagam yang berkaitan dengan Majapahit termasuk dengan Pararaton dan Negarakertagama yang tidak menulisnya samasekali.

Prof Edy Sedyawati mantan Dirjen Kebudayaan Depdikbud mempertanyakan gencarnya peranan Pemerintah Kolonial didalam memperkenalkan Perang Bubat kepada publik.

“Oleh Pemerintah Belanda, Kidung Sundayana dijadikan bahan ajar bagi siswa di AMS. Ada kepentingan Belanda didalamnya” jelas Edy Sedyawati, mengaitkan terbitnya teks-teks Kidung Sundayana tersebut yang dekat dengan perustiwa Sumpah Pemuda. ( M. Muhibuddin, Sejarah Kelam Jawa Sunda )

*Penulis adalah guru dan Pemerhati Sejarah, tinggal di Cipanas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2  +  2  =