Channel9id – Jakarta. Pakar Hukum Pidana dari Universitas Gajah Mada ( UGM), Dr. Eddy OS Hiariej, mengatakan secara pidana putusan terhadap SAT sudah closed, sudah selesai. Hal tersebut disampaikan dalam diskusi publik dengan tema “ Vonis Bebas MA Terhadap Syafruddin : Siapa Yang Salah MA atau KPK” yang diselenggarakan oleh Mahfud MD Inisiative, di Jakarta/7/31/2019 di Jakarta.
Menurutnya, perkara pidana harus ada ujungnya, “ Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada KPK, saya mengatakan secara teoritis putusan MA terhadap SAT secara pidana sudah closed, kalau mau gugat secara perdata silahkan” Jelasnya. Karena itu penting untuk membaca apa yang menjadi dasar putusan, karena akan mempunyai konsekwensi logis terhadap perkara yang sedang disidik oleh KPK.
Dalam pandangan Eddy tuntutan lepas terhadap SAT harus dilihat dari berbagai kemungkinan, kemungkinan yang pertama adalah menggunakan alasan pembenar, kedua alasan pemaaf, karena dalam putusan dikatakan perbuatan terbukti, namun bukan perkara pidana, yang satunya lagi mengatakan administrasi dan satunya lagi perdata. “Bagi hukum pidana tidak menjadi soal, yang penting administrasi dan perdata tidak punya konsekuensi penjatuhan hukum pidana, jadi tetap 2 : 1. Tentunya yang pidana menjadi second opinion bagi yang kedua,” jelasnya.
Ia juga tidak sependapat dengan kemungkinan penggunaan PK dalam kasus ini, karena PK bukan terobosan hukum namun merupakan noda hitam dalam sejarah hukum di Indonesia. “Sebelum ada putusan MK, sampai dunia kiamat saya tidak setuju yang namanya jaksa itu melakukan peninjauan kembali,” tegasnya.
Sejarah PK oleh Jaksa, menurut Eddy pertama kali di ajukan dalam kasus Muchtar Pakpahan dengan jaksanya yang sekarang Jisman Simanjuntak . Gara-garanya waktu itu Pak Harto didemo pada saat ke Jerman. Pulang dia marah-marah dan memanggil Jaksa Agung, pokoknya bagaimana caranya Muchtar Pakpahan dihukum. “Mulailah Jisman ini membolak balik KUHAP, dan menemukan kan tidak ada larangan. Jaksa boleh mengajukan PK, kemudian ia mengajukan PK, sehingga Muchtar Pakpahan dihukum,” tuturnya.
Eddy menyampaikan alasan, kenapa tidak sepakat kalau jaksa mengajukan PK, karena Pasal 266 sudah mengunci. Jika MA mengabulkan peninjauan kembali maka ada empat kemungkinan. lepas dari segala tuntutan hukum, bebas, tidak menerima tuntutan penuntut umum atau menerapkan putusan pidana lebih ringan. “Masalahnya putusan terhadap SAT adalah lepas dari tuntutan hukum, berarti tidak ada yang lebih ringan dari lepas tuntutan hukum. Kalau jaksa mengajukan PK, ia menabrak asas bahwa putusan PK tidak boleh lebih berat dari keputusan yang berkekuatan hukum tetap sebelumnya.” Tegasnya.
Ketiga PK adalah hak terpidana bukan hak penuntut umum, hak penuntut umum ada di kasasi. “Jadi kalau misalnya dikatakan tidak ada larangan dikembalikan saja, misalnya di dalam ruangan ini tidak ada larangan kencing, apa Anda boleh kencing disini,” terangnya.
Nah pertanyaanya, Apakah sesuatu yang tidak diatur boleh dilakukan. Menurut Eddy ukuran ada tiga, yang pertama adalah apakah bertentangan dengan kepatutan, yang kedua apakah bertentangan dengan ketertiban umum, apakah ketiga bertentangan dengan tertib hukum atau tidak.
“ PK oleh jaksa bertentangan dengan kepentingan umum, karena dia menjungkirbalikan asas PK, dia melanggar ketentuan Pasal 266 KUHAP,” tuntasnya.