Nusron sahkan SHGB milik perusahaan aguan di area pagar laut
Ekbis

PSN di PIK 2 dan Pagar Laut Disebut Bentuk Nyata Perampasan Laut

Channel9.id, JAKARTA – Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN) dan Front Kebangkitan Petani-Nelayan Banten (FKPN) menilai Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam PIK 2 dan pagar laut di perairan merupakan bentuk nyata pengkaplingan atau privatisasi sumber daya laut sebagai parampasan laut. Selain itu telah terbit HGB di perairan pesisir Banten yang merupakan bentuk nyata privatisasi perairan.

“Tindakan ini menunjukkan bagaimana pemerintah membiarkan terjadi ketidakadilan sosial terjadi yang mengakibatkan nelayan kecil menjadi korban ketidakadilan karena akses dan kontrol atas laut dirampas,” ujar Oktrikama Putra, Program Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN), Senin (20/1/2025).

Pembiaran pemerintah dalam Proyek PSN PIK 2 dan Pagar Laut ini telah nyata melanggar hukum dan membiarkan korporasi mendapakan keistimewaan dibandingkan rakyat nelayan dan masyarakat pesisir Banten. Secara khusus EKOMARIN memberi perhatian khusus atas sertifikat HGB di perairan seluas 300 hektar yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang.

“Terbitnya HGB di perairan pesisir ini menunjukkan pemerintah menganggp perairan serupa layaknya tanah pada kepulauan dan daratan,” ujar Oktrikama.

Merunut kebelakang, munculnya pengaturan HGB di perairan adalah untuk mengakui hak atas tempat tinggal masyarakat adat laut yang membangun di atas perairan. Tetapi melihat realitas yang terjadi di perairan pesisir provinsi Banten menunjukkan hal yang sebaliknya. Hak guna bangunan tersebut di legitimasi oleh aturan turunan rezim UU Cipta Kerja/Omnibus Law dalam PP 18/2021 dan PP 43/2021.

Dengan sebelumnya telah ada Permen ATR/BPN No. 17/2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjadi legitimasi hukum terhadap HGB di perairan tersebut. Dalam Pasal 65 ayat (2) PP 18/2021, menunjukkan bahwa pemberian HGB tersebut diterbitkan oleh perizinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kemudian dalam Pasal 17 PP 43/2021 menunjukkan kontradiksi pengaturan karena : memutihkan dan legalisasi pelanggaran adanya hak atas tanah yang diterbitkan di wilayah perairan.

“Dalam “kewajiban memberikan ruang dan akses” kepada nelayan, pembudi daya ikan dan petambak garam yang menunjukkan pemerintah yang menerbitkan aturan tidak memahami realitas sosial ketimpangan kuasa antara nelayan dengan pemilik modal yang merupakan unequal treatment yang melanggar konstitusi UUD 1945,” ujar Oktrikama.

Terhadap Proyek PSN PIK 2- Pagar Laut dan pengkaplingan perairan ini, Kholid Miqdar, selaku Nelayan Banten yang juga tergabung dalam FKPN Banten adalah salah satu dari ribuan Nelayan yang merasakan dampak dari Proyek PSN PIK 2 dan pagar laut tersebut. Pasalnya meskipun pagar bambu tersebut berada di Kabupaten Tangerang akan tetapi Nelayan yang berada di seputaran Jakarta juga merasakan dampak dari hal tersebut.

“Kami menuntut lima hal, pertama, laut kami jangan dikapling dan di privatisasi, lalu ditransaksikan. Kedua, tambak dan sawah kami jangan diurug untuk kepentingan pengusaha rakus tanah. Ketiga, kami rakyat negara Indonesia tidak ingin di kuasai dan dikendalikan oleh korporasi yang diistimewakan. Empat, kedaulatan negara tidak boleh kalah dengan Oligarki. Terakhir, jika instrumen negara tidak digunakan untuk mengurus kami, maka kami akan melawan sendiri korporasi itu,” pungkas Kholid.

Oktrikama Putra, Program Officer EKOMARIN menjelaskan bahwa sejak masalah PSN PIK 2 dan Pagar Laut muncul ke publik sejak Oktober 2025, seharusnya pemerintah baik daerah dan pusat telah turun tangan secara tegas. Pengawasan laut pemerintah terlihat lemah tetapi sangat jelas Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak melindungi laut dari perampasan dan pengkaplingan laut yang terjadi.

Kementerian Kelautan dan Perikana sebagai pihak yang memberikan izin dalam terbitnya hak atas tanah di perairan. Peran Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono ataupun jajarannya terlihat jelas secara aktif memberikan izin ataupun rekomendasi membiarkan terbitnya HGB di perairan merupakan tindakan kejahatan perampasan laut.

Atas tindakan kesengajaan dengan adanya pembiaran tersebut, EKOMARIN bersama dengan FKPN Banten menyatakan tindakan tersebut adalah pelanggaran konstitusi UUD 1945, dan hak asasi manusia salah satunya jelas melanggara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010.

Tindakan khusus dan mendesak adanya tindakan tegas hukum pidana terhadap terduga pelaku baik individu termasuk khususnya korporasi pelaku perampas laut. Terduga pelaku terancam pidana dalam UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dalam Pasal 73 ayat (1) huruf g, dan Pasal 75 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3  +  3  =