Oleh: Leni Milana*
Channel9.id-Jakarta. Setelah pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan PM Anwar Ibrahim, akhir Januari 2025, sebuah rencana kerjasama industri sawit antara Indonesia dan Malaysia segera dijajaki. Pada Konferensi Internasional Rumah Sawit Indonesia, Rabu (19/2/2025), Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno menyatakan, Indonesia dan Malaysia akan menyusun bersama-sama standar keberlanjutan (sustainability) global untuk minyak sawit.
Program itu juga akan menggandeng badan PBB, Food and Agriculture Organization (FAO). Menurut Smith et al. (2023), standar keberlanjutan internasional memiliki peran krusial dalam meningkatkan transparansi dan mengurangi praktik tidak etis di sektor perkebunan. Kerjasama lintas negara ini jelas relevan. Indonesia dan Malaysia adalah pemasok 80% minyak sawit (CPO) dunia. Bahkan Indonesia menguasai hampir 60% ekspor CPO global.
Bagi Indonesia, sawit sangat berperan penting dalam perekonomian. Produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada 2023 mencapai 50,07 juta ton, dengan luas areal kelapa sawit mencapai 16,83 juta hektar. Pada 2024, produksi berkurang sekitar 4%. Industri ini menyerap sekitar 16 juta tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung.
Nilai dan volume ekspor kelapa sawit Indonesia juga signifikan. Pada tahun 2023, nilai ekspor kelapa sawit Indonesia mencapai USD 30,32 miliar dengan volume ekspor sebesar 38,23 juta ton. Pada 2024, volume ekspornya menurun 15,4% dan nilai ekspornya turun 8,8% menjadi US$22,87 miliar. Ekspor kelapa sawit Indonesia dominan ditujukan ke sepuluh negara, dengan India sebagai negara tujuan utama.
Tak heran jika kontribusi sawit terhadap output perekonomian Indonesia sangat besar. Surplus neraca perdagangan kelapa sawit rata-rata di atas US$20 miliar per tahun. Selain itu, industri sawit juga berfungsi strategis mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil. Program biodiesel B35 telah berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 32,6 juta ton CO2, dengan target volume penyaluran B35 pada 2024 sebesar 13,4 juta KL. Integrasi biodiesel dalam bauran energi bukan hanya memberikan manfaat lingkungan, tetapi juga menurunkan risiko geopolitik yang terkait dengan impor bahan bakar fosil, sehingga mendukung ketahanan energi nasional.
Kini Indonesia menggandeng Malaysia untuk membahas standar keberlanjutan sawit. Selama ini, Indonesia sudah memiliki Peraturan Presiden (Perpres) tentang Strategi dan Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (SANAS KSB) Tahun 2025-2029. Pada 2015, pemerintah juga membentuk Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Komite Pengarahnya berasal dari delapan kementerian. Badan ini menjadi wadah perumusan kebijakan industri kelapa sawit dari hulu sampai hilir. Sepertinya, visi keberlanjutan industri sawit di dalam negeri sudah berada di jalan yang benar.
Masalahnya, industri sawit juga menghadapi tantangan terkait isu maladministrasi. Ombudsman Republik Indonesia menemukan bahwa maladministrasi dalam tata kelola sawit berpotensi merugikan negara hingga Rp279,1 triliun per tahun. Maladministrasi ini meliputi perizinan, penimbangan TBS, dan kebijakan perdagangan.
Maladministrasi juga merujuk pada pengelolaan yang buruk atau penyalahgunaan wewenang dalam berbagai aspek operasional, menjadi hambatan serius dalam mencapai standar global keberlanjutan. Andersen et al. (2022) mengungkapkan bahwa praktik maladministrasi dalam sektor agribisnis dapat memperburuk konflik agraria dan menurunkan daya saing produk di pasar internasional, sehingga penegakan regulasi yang tegas menjadi keharusan.
Masih Perlu Reformasi Menyeluruh
Ombudsman RI merampungkan Kajian Sistemik tentang Pencegahan Maladministrasi pada Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit sejak Mei hingga Oktober 2024. Dari kajian tersebut, didapatkan hampir 10 ribu kasus maladministrasi di seluruh penjuru negeri setiap tahunnya. Jenisnya meliputi perizinan yang tumpang tindih, pembukaan lahan ilegal, dan pelanggaran hak masyarakat adat. Temuan ini memberikan gambaran nyata tentang seriusnya permasalahan tata kelola sawit dan menegaskan perlunya reformasi menyeluruh.
Untuk menjamin terlaksananya program keberlanjutan usaha sawit, masalah maladministrasi ini harus segera dituntaskan. Beberapa rekomendasi solusi dapat dipertimbangkan, antara lain reformasi regulasi dan tata kelola perizinan melalui digitalisasi sistem perizinan untuk mengurangi praktik korupsi dan tumpang tindih izin lahan. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor dan memperkuat posisi Indonesia di pasar global.
Lantas, perbaikan mekanisme pengawasan perizinan sawit perlu ditingkatkan untuk memastikan transparansi proses penerbitan izin, verifikasi dokumen, dan keterlibatan publik. Audit independen terhadap kebijakan dan implementasi tata kelola sawit dapat menilai sejauh mana regulasi dijalankan dan menindak pelanggaran.
Transparansi dan akuntabilitas dalam rantai pasok sawit juga menjadi kunci, di mana penerapan sistem pelacakan dari hulu ke hilir akan menjamin legalitas produk sawit dan memudahkan pemantauan oleh berbagai pihak. Keterlibatan publik dalam pemantauan akan memastikan praktik-praktik yang tidak sesuai dapat segera dideteksi dan ditindaklanjuti.
Penguatan hak petani kecil dan masyarakat lokal tidak boleh diabaikan. Sertifikasi keberlanjutan harus lebih mudah diakses oleh petani kecil agar mereka dapat berpartisipasi aktif dalam rantai pasok yang berkelanjutan. Perlindungan hak masyarakat adat dan penyelesaian konflik agraria harus menjadi prioritas, mengingat banyaknya kasus pelanggaran hak. Lee dan Tan (2022) menekankan bahwa inklusivitas dalam kebijakan pertanian sangat penting untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang.
Kolaborasi internasional juga memainkan peran penting dalam standarisasi keberlanjutan. Sinergi antara pemerintah, organisasi internasional, dan sektor swasta dalam membangun standar yang adil dan aplikatif akan mempercepat tercapainya industri sawit yang berkelanjutan. Momentum kerja sama Indonesia dengan FAO harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mereformasi tata kelola industri sawit.
Maladministrasi merupakan masalah serius yang menghambat keberlanjutan industri kelapa sawit. Penyelesaian masalah ini merupakan prasyarat penting untuk mencapai standar keberlanjutan global. Ombudsman RI juga memberikan saran agar Pemerintah segera membentuk Badan Nasional yang mengurusi tata kelola hulu-hilir industri kelapa sawit di bawah pengawasan langsung Presiden RI.
Jangan lupa pula, rakyat harus dilibatkan, Gupta dan Santos (2021) menegaskan, peningkatan transparansi serta partisipasi masyarakat dalam pengawasan merupakan kunci dalam meminimalkan kasus maladministrasi dan korupsi. Dengan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, perbaikan tata kelola industri sawit diharapkan dapat membawa transformasi besar menuju keberlanjutan dan daya saing tinggi.
Baca juga: Prabowo Dorong Kerja Sama RI-Malaysia di Sektor Sawit Ditingkatkan
*ASN | Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute