Opini

Maeda Dan Proklamasi Kemerdekaan

Oleh : Yanuar Iwan. S

“Suara-suara itu tak bisa di penjarakan disana bersemayam kemerdekaan, apabila engkau memaksa diam, aku siapkan untukmu pemberontakan ( Widji Tukul )”

Sejarah hampir selalu memberikan sisi yang berbeda sisi hitam dan putih tergantung suatu bangsa memandang suatu peristiwa sejarah. Westerling dihadapan masyarakat Belanda  yang ultra nasionalis dianggap pahlawan, sebaliknya di mata masyarakat Indonesia Westerling tidak lebih dari seorang penjahat perang, demikian halnya dengan Laksamana Muda Tadashi Maeda lahir pada 3 Maret 1898 di Kagoshima, Kyushu, Jepang, sosok Maeda adalah sosok dengan dua sudut pandang sejarah yang berbeda. Bagi bangsa Indonesia Maeda adalah pahlawan yang pantas disejajarkan dengan pahlawan nasional terutama generasi angkatan 45, tetapi bagi Jepang Maeda adalah profil perwira tinggi pembangkang  ( Insubordinasi ) terhadap peraturan dan tradisi militer yang keras dan disiplin.

Maeda adalah penyimpangan dari pola umum karakter istik militer Jepang yang keras, kaku, dan tidak kenal kata kompromi. Sejarawan Belanda H.J. De Graaf melukiskan Maeda sebagai seorang perwira AL yang lebih banyak melihat dunia dalam tugas-tugasnya, lebih luas dan lebih terang pandangannya terhadap situasi yang sebenarnya terjadi daripada perwira-perwira AD.

Menurut Sejarawan Jepang Aiko Kurawasa, Maeda sejak awal bersimpati besar terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia. Maeda sendiri berulangkali mengungkapkan hal itu, ” Tahun 1944, saya membuka permohonan kepada Tokyo agar memberi kesempatan Indonesia untuk merdeka” katanya. Ketika di wawancara sejarawan Abdoerahman Soerjomihardjo pada 1973. ( M.F. Mukthi, Historia ).

Simpatinya diwujudkan dengan mendirikan Asrama Indonesia Merdeka pada Oktober 1944, Asrama tersebut menjadi pusat pendidikan anak-anak muda terpilih mereka diberikan pendidikan politik, ekonomi, sosialis, dan hukum. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Ahmad Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri tercatat pernah mengajar disana.

“Jadi dia ( Maeda ) mendukung kemerdekaan atas dasar dirinya sendiri, bukan kebijakkan AL atau Pemerintah Tokyo ujar Sejarawan Aiko Kurawasa ( M.F. Mukthi, Historia ).

Ahmad Soebardjo didalam tulisannnya In Memoriam Laksamana Tadashi Maeda dalam rangka memperingati wafatnya Maeda pada 14 Desember 1977. ” Pada detik-detik terpenting dalam melaksanakan Proklamasi kemerdekaan Indonesia, Laksamana Maeda menunjukkan sifat samurai Jepang, yang mengorbankan diri pribadinya demi tercapainya cita-cita luhur dari rakyat Indonesia, yakni Indonesia merdeka.”

Menurut Soebardjo Maeda pernah mendesak Laksamana Shibata ( Panglima AL Jepang ) agar mengambil kebijakkan yang menyimpang dari perintah dan komando Sekutu. Yakni membiarkan Indonesia menyatakan kemerdekaan ( Intisari Agustus, 2018 )

Peristiwa Rengasdengklok adalah kristalisasi konflik dua kekuatan, pemuda yang tergabung didalam komite van actie Sukarni, BM Diah, Wikana yang sudah terpengaruh ide-ide revolusi Tan Malaka, dengan Soekarno-Hatta yang terus mengkalkulasi segala kemungkinan yang terjadi, masalah tersebut bisa diselesaikan dengan jaminan Maeda kepada Ahmad Soebardjo, bahwa jika mereka ( Soekarno-Hatta ) dikembalikan dengan selamat, maka dia ( Maeda ) dapat mengatur agar pihak Jepang tidak peduli bilamana kemerdekaan dinyatakan. ( MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 ).

Ketika Soekarno-Hatta menemui Mayor Jendral Nishimura malam tanggal 16 Agustus 1945, yang menyatakan bahwa bala tentara Jepang mendapatkan perintah komando dari Panglima tertinggi Sekutu di Pasifik bahwa terhitung mulai tanggal 16 Agustus 1945 pukul 13.00 tentara Jepang diJawa tidak boleh lagi mengubah status quo dan Jepang tidak lagi terikat dengan janji kemerdekaan, Soekarno sempat mengkritik Nishimura sebagai seorang samurai yang mengingkari janjinya.

Dengan ditetapkannya status quo oleh Rikugun ( Angkatan Darat Jepang ) berarti kemerdekaan harus dilaksanakan dengan mandiri lepas dari pengaruh Jepang. Masalah kedua dimanakah tempat melaksanakan perumusan naskah proklamasi, Hotel Des Indes tidak bersedia menyediakan tempat karena sudah melewati pemberlakuan jam malam, mereka khawatir diserbu AD Jepang.

“Nasib saya tidak penting, yang penting adalah kemerdekaan bangsa Indonesia, aku tidak akan pernah lupa pada kata-katanya ( Maeda ) bahwa didalam rumahku, Kaigun ( AL Jepang ) akan bertanggung jawab ” lanjut Soekarno. Tetapi diluar rumahku, aku tidak bisa membantu karena merupakan wilayah kekuasaan Rikugun ( AD Jepang ).

Adalah suatu keberanian yang luar biasa seorang perwira tinggi AL Jepang menyediakan sarana dan prasarana bagi suatu aktifitas yang dilarang, adalah suatu hal yang mustahil jika Kenpetai dan intelijen AD Jepang tidak mengetahui bahwa rumah dinas Maeda dijadikan sarana bagi aktifitas yang terlarang ( Perumusan naskah Proklamasi kemerdekaan ).

Barbara Gifford Shimmer dan Guy Hobbs dalam buku Kenpetai diJawa dan Sumatera menyatakan tentara Jepang samar-samar menyadari bahwa Maeda telah berkontribusi terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia. Lalu mengapa AD Jepang tidak bertindak ada beberapa alasan yang bisa diajukan.

AD Jepang tidak ingin lagi terlibat dalam pusaran revolusi Indonesia.AD Jepang sudah merasa tidak berkepentingan lagi terhadap Indonesia ( Karena merasa menjadi pihak yang kalah dalam PD II )AD Jepang tidak ingin membuka konflik dengan AL Jepang.

Setelah Sekutu datang Maeda dan asistennya Nishijima dijebloskan kedalam penjara dan dipaksa untuk mengakui bahwa Jepang ikut berperan didalam Proklamasi kemerdekaan Indonesia.

  • Pemerhati Sejarah Tinggal Di Cipanas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

22  +    =  30