Channel9, Jakarta – Pemerintah secara resmi membatalkan rencana pengembangan rumah subsidi berukuran 18 meter persegi setelah menuai gelombang penolakan dari publik dan parlemen. Keputusan ini dinilai sebagai bentuk respons cepat pemerintah terhadap aspirasi masyarakat sekaligus menjadi momentum evaluasi tata kelola kebijakan yang lebih inklusif dan partisipatif.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, menyampaikan langsung pencabutan rencana tersebut dalam Rapat Kerja bersama Komisi V DPR RI, Kamis (10/7/2025).
“Saya sudah dengar banyak masukan, termasuk dari DPR. Maka saya mohon maaf dan saya cabut ide itu,” ujar Maruarar di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Ia mengakui bahwa meski tujuannya baik, yakni untuk meningkatkan akses perumahan di kota-kota besar, namun pendekatan yang digunakan belum mempertimbangkan perspektif publik secara matang.
Usulan rumah subsidi minimalis 18 m² semula dimaksudkan sebagai solusi atas keterbatasan lahan dan tingginya harga tanah di kawasan perkotaan. Maruarar menyebut ide itu muncul sebagai bagian dari upaya mendukung target pembangunan 3 juta rumah dalam program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Rumah subsidi di Bandung dan Jakarta tidak tersedia karena harga tanah yang tinggi. Dengan memperkecil luas bangunan, harga rumah bisa lebih terjangkau,” kata Maruarar.
Namun publik menilai pendekatan ini mengabaikan aspek kelayakan dan standar hunian yang manusiawi. Perbandingan dengan negara-negara lain bahkan sempat viral, menyebut ukuran tersebut lebih kecil dari rumah-rumah subsidi di Ethiopia.
Gagasan ini sempat termuat dalam draf Keputusan Menteri PKP tentang batasan luas rumah umum, dengan luas minimum bangunan ditetapkan 18 m² dan luas tanah minimum 25 m². Jika diterapkan, kebijakan ini akan merevisi aturan sebelumnya (Kepmen PUPR No. 689/KPTS/M/2023) yang menetapkan batas minimal bangunan subsidi adalah 21 m² dan luas tanah 60 m².
Kontroversi pun muncul karena dianggap menurunkan standar kualitas hunian rakyat dan bertentangan dengan prinsip perumahan yang layak.
Pembatalan ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah bahwa setiap kebijakan publik, terutama yang menyangkut kebutuhan dasar seperti perumahan, harus melalui proses partisipatif dan transparan.
“Kami belajar bahwa ide di ranah publik harus lebih baik lagi. Ke depan, kami akan lebih selektif,” tegas Maruarar.
Dengan dibatalkannya wacana ini, pemerintah diharapkan kembali menata strategi perumahan rakyat dengan menekankan tiga prinsip utama: kelayakan, keterjangkauan, dan partisipasi masyarakat. Tantangan harga lahan di kota besar tetap perlu diatasi, namun tanpa mengorbankan kualitas dan martabat warga sebagai penghuni.