Internasional

Aroma Candu di Balik Kemelut Thailand–Kamboja

Channel9.id-Jakarta. Pagi yang suram di medio Juli 2025. Letusan ranjau memecah kesunyian kawasan perbatasan Oddar Meanchey, Kamboja. Dua tentara Thailand terluka parah. Dalam hitungan jam, tembakan balasan menghujani kawasan Candi Ta Muen Thom. Beberapa hari setelahnya, jet F-16 Thailand meluncurkan serangan udara yang menewaskan 12 warga sipil dan melukai sejumlah prajurit Kamboja.

Di permukaan, sengketa ini tampak seperti konflik klasik atas klaim wilayah. Namun di balik isu geopolitik itu, para pakar menyuarakan kekhawatiran lebih dalam: adanya dugaan keterlibatan sindikat narkoba besar yang ikut memicu eskalasi kekerasan.

Jeremy Douglas, Regional Representative UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, di berbagai kesempatan menegaskan bahwa perbatasan seperti Golden Triangle kini bukan hanya jalur transit, melainkan pusat produksi metamfetamin dengan nilai pasar mencapai puluhan miliar dolar AS per tahun. Klaim ini berdasarkan data bahwa wilayah itu menyumbang lebih dari 80% produksi metamfetamin Asia Tenggara, dengan peningkatan signifikan terhadap laboratorium gelap di sepanjang DAS Mekong, perbatasan Myanmar-China-Laos–Thailand–Kamboja. Douglas juga menyebut bahwa jaringan seperti Sam Gor sindikat besar yang “mencuci uang melalui berbagai bisnis di sepanjang Mekong” dan menjadi bagian arsitek konflik lokal jika memudahkan akses produksi dan distribusi.

Douglas menengarai,  di wilayah perbatasan Thailand-Kamboja, terutama di barat laut, aktor bersenjata tidak jarang menjadi bagian dari ekosistem bisnis ilegal. Ada dugaan keterlibatan sindikat narkoba lintas batas yang menyusupi ketegangan militer. “Ini bukan sekadar soal sengketa kuil atau garis batas,” ujar  Douglas.

Gambaran konflik kawasan ini selaras dengan tulisan analis politik terkemuka Thailand, Thitinan Pongsudhirak dari Chulalongkorn University. Dalam artikelnya di Bangkok Post bulan Juni 2025, Pongsudhirak mengingatkan bahwa ASEAN kini tampak “impotent” menghadapi eskalasi militer kedua anggota, Thailand dan Kamboja. Ia menyatakan konflik seperti ini sering diintervensi kepentingan non-negara—termasuk mafia narkoba dan oknum tentara yang mendapat aliran dana gelap selama ketegangan berlangsung.

Kamboja, yang sebelumnya hanya menjadi jalur transit, kini telah berkembang menjadi pusat produksi. Di banyak desa di Provinsi Stung Treng dan Preah Vihear, laboratorium gelap tumbuh seiring meningkatnya kehadiran milisi tak resmi dan aparat yang “main dua kaki”.

Marie-Aude Le Thiec, analis senior International Crisis Group untuk Asia Tenggara, menyampaikan bahwa organisasi internasional seperti PBB dan Uni Eropa harus memainkan peran lebih aktif membiayai sistem pengawasan netral, memperkuat anti-korupsi di sektor militer dan kepolisian. Jika tidak, zona perbatasan hanya akan menjadi “surga impunitas” bagi pelaku kriminal transnasional.

Sejarah memperkuat spekulasi ini. Sejak sengketa Kuil Preah Vihear muncul ke permukaan pada 2008-2011, konflik terbatas dengan korban jiwa terjadi. Namun peristiwa 2025 memperlihatkan eskalasi berbeda: bukan hanya baku tembak darat melainkan eskalasi udara hingga warga sipil langsung terkena dampaknya. Data terbaru memperlihatkan bahwa dalam satu bulan terakhir delapan belas hingga dua belas warga sipil Thailand tewas akibat serangan artileri dari Kamboja, disusul respons udara F‑16 dan penarikan duta besar kedua negara.

Statistik terkait perdagangan narkoba makin memperkuat narasi keterlibatan mafia. Menurut laporan UNODC terbaru, penyitaan metamfetamin di Asia Tenggara naik 24% menjadi total 236 ton pada 2024, mayoritas melalui rute Golden Triangle. Di Thailand sendiri, penyitaan metamfetamin untuk transit ke Asia timur telah mencapai jutaan pil setiap tahun, dengan laboratorium besar memproduksi dalam skala industri dan menguasai jalur logistik lintas-negara.

Lantas, siapa diuntungkan dari konflik terbaru Thailand-Kamboja ini? Jika jaringan narkoba berperan dalam penyediaan dana atau dukungan logistik bagi milisi lokal, maka konflik bukan lagi tentang klaim atas candi kuno, melainkan tentang kelangsungan ekonomi gelap. Warga desa di provinsi seperti Preah Vihear dan Oddar Meanchey memberi kesaksian bahwa sejumlah milisi bersenjata yang beroperasi di malam hari sering menggunakan kendaraan sipil, menawarkan pekerjaan tanpa dokumen resmi, serta memiliki kemampuan logistik mencurigakan—indikator struktur bayangan berbasis dana ilegal.

Sebagai alternatif penyelesaian, masih diperlukan solusi lebih komprehensif. ASEAN perlu membentuk semacam Border Integrity Task Force independen, dengan mandat investigasi lintas negara atas dana keterlibatan oknum militer dan intelijen. Pembekuan aset ilegal, perlindungan whistleblower, audit militer terbuka, serta kerja sama investigasi forensik digital dan patroli drone di zona perbatasan bisa mengurangi ruang operasi sindikat. Dukungan finansial dan teknis dari PBB, UNODC, Uni Eropa, bahkan dari negara donor seperti Amerika Serikat, dapat memperkuat kapasitas penegak hukum di Thailand dan Kamboja.

Jika persoalan ini hanya ditinjau dalam perspektif geopolitik dan klaim kedaulatan, akar mafia yang memanfaatkan konflik akan tetap tertutup. Namun bila ada investigasi yang mengungkap kaitan antara konflik bersenjata dan ekonomi narkoba transnasional, langkah perdamaian dan pembersihan sistemik dapat memberikan hasil. Konflik Thailand–Kamboja tahun 2025 mungkin jadi sejarah baru tentang pertarungan teritorial, tapi jika akar ekonomi gelapnya tidak diungkap, konflik itu hanya akan terus diulang—oleh mafia, bukan oleh negara.

*Dari berbagai sumber

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

51  +    =  52