Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Tahun 2030 tinggal lima tahun lagi. Target Indonesia untuk menghapus kemiskinan ekstrem—yakni kondisi hidup di bawah garis sangat miskin dengan pengeluaran kurang dari Rp 12.000 per hari—adalah ambisi nasional yang sejalan dengan komitmen global SDGs. Tapi apakah target itu realistis? Jika melihat data terbaru dan potensi sumber daya sosial-ekonomi kita, jawabannya: sangat mungkin, bahkan bisa dicapai lebih cepat.
Per Maret 2025, jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia tersisa 2,38 juta jiwa atau sekitar 0,85% dari total populasi, menurun signifikan dari 3,1 juta pada tahun sebelumnya. Jika tren ini berlanjut dengan intervensi yang lebih tepat sasaran, maka angka nol persen pada 2030 bukan sekadar mimpi.
Namun, keberhasilan tidak bisa hanya bertumpu pada APBN. Kita perlu mengakselerasi peran dunia usaha, filantropi, dan masyarakat sipil. Dalam konteks inilah, potensi dana Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) menjadi sangat strategis.
CSR: Sumber Daya Non-APBN yang Terlupakan
Berdasarkan estimasi konservatif, total dana CSR nasional—baik dari BUMN maupun swasta—berkisar antara Rp 53 – 76 triliun per tahun. Ini bukan angka kecil. Jika hanya 15% dari dana tersebut dialokasikan untuk program penghapusan kemiskinan ekstrem, kita sudah memiliki potensi Rp 8–11 triliun per tahun. Bandingkan dengan kebutuhan dasar intervensi minimal (sekitar Rp 5 juta per orang per tahun), yang totalnya untuk 2,38 juta jiwa populasi miskin ekstrem hanya memerlukan sekitar Rp 11,9 triliun.
Artinya, dari CSR saja, kebutuhan dasar intervensi penghapusan kemiskinan ekstrem bisa hampir seluruhnya dipenuhi—dengan catatan pengelolaannya terarah, terukur, dan kolaboratif.
Sayangnya, kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal. Sebagian besar program CSR tidak terkoordinasi, bersifat parsial, tidak terdokumentasi dampaknya, dan cenderung mengejar citra daripada dampak jangka panjang. Tidak ada platform nasional yang memetakan program CSR lintas sektor. Bahkan insentif fiskal dan reputasi bagi perusahaan pelopor sangat minim.
Mengapa Kita Harus Bertindak Sekarang?
Kemiskinan ekstrem bukan hanya soal kekurangan uang. Ia adalah wajah dari ketimpangan yang paling akut—tentang keluarga tanpa akses air bersih, anak-anak yang gagal sekolah karena harus membantu orang tua mencari makan, atau kaum difabel dan lansia yang hidup sendiri tanpa jaminan sosial.
Dalam masyarakat seperti itu, pertumbuhan ekonomi tak akan berdampak apa-apa. CSR yang benar-benar berpihak bisa menjadi katalisator perubahan sosial. Ia bisa menjadi jembatan antara sumber daya dan kebutuhan nyata di masyarakat.
Lima Terobosan Strategis
DNIKS mengajak mitra lembaga filantropi dan pemangku kepentingan lain mendorong lima arah kebijakan nasional untuk menjadikan CSR sebagai pilar utama penghapusan kemiskinan ekstrem:
1. Bangun “CSR for Zero Poverty Trust Fund 2025–2030”
Wadah kolaboratif lintas sektor untuk menghimpun dan menyalurkan CSR secara akuntabel. Dikelola bersama oleh pemerintah, pelaku usaha, lembaga sosial, dan masyarakat sipil.
2. Tetapkan Peta Jalan Nasional CSR untuk Kemiskinan Ekstrem
Termasuk target per wilayah, klaster intervensi (pendapatan, perumahan, pendidikan, air bersih), serta model pembiayaan dan sinergi lintas sektor.
3. Terapkan Insentif CSR Produktif dan Terukur
Berupa potongan pajak penghasilan (PPh), penilaian Environmental, Social, and Governance (ESG), sertifikasi perusahaan berdampak sosial (Social Impact Company), dan prioritas kemitraan dalam proyek strategis nasional.
4. Integrasikan Platform Digital CSR Impact Dashboard
Untuk memantau lokasi, jumlah, dan dampak CSR secara real-time—tersambung dengan data kemiskinan nasional, DTKS, DTSEN dan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek).
5. Dorong Komitmen Kolektif melalui “CSR Social Compact 2025–2030”
Komitmen tertulis bersama perusahaan BUMN, swasta, asosiasi bisnis, dan pemerintah, dengan minimal alokasi 10–15% dana CSR untuk penghapusan kemiskinan ekstrem.
Gagasan ini diharapkan diperkuat dalam agenda Filantropi Festival 2025 (FiFest) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Filantropi Indonesia. Mengusung tema “Budaya dan Ekosistem Filantropi untuk Dampak yang Lebih Baik”, forum ini menandai kebangkitan semangat kolaborasi nasional untuk menjadikan filantropi sebagai kekuatan transformatif.
Kehadiran Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy dan Ketua Dewan Penasehat PFI Franciscus Welirang yang juga Ketua Badan Pengarah DNIKS dalam pembukaan FiFest menunjukkan bahwa agenda ini bukan sekadar seremonial. Ia adalah cikal bakal pembentukan ekosistem CSR yang lebih strategis, berorientasi dampak, dan berpihak pada kelompok paling rentan.
Kita perlu mengubah paradigma CSR dari sekadar memberi (charity) menjadi investasi sosial jangka panjang. Setiap rupiah CSR harus dirancang untuk menyelesaikan masalah secara sistemik, bukan hanya tambal sulam sesaat. CSR harus menjadi alat untuk memutus rantai kemiskinan antar generasi.
Dengan target yang terukur, data yang valid, dan akuntabilitas yang terjaga, CSR bisa menyelamatkan jutaan warga dari jurang kemiskinan ekstrem—dan sekaligus menyelamatkan kredibilitas dunia usaha di mata publik.
Dengan jumlah penduduk miskin ekstrem di bawah 2,5 juta jiwa dan dana CSR puluhan triliun rupiah per tahun, penghapusan kemiskinan ekstrem bukan hanya mungkin—tetapi wajib kita wujudkan bersama.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya. Yang kita butuhkan adalah leadership, keberanian kolektif, dan kemauan untuk keluar dari zona nyaman.
“CSR bukan sekadar memberi. CSR adalah investasi sosial untuk Indonesia tanpa kemiskinan.”
Baca juga: Bappenas dan DNIKS Bentuk Gugus Tugas Nasional Kesejahteraan Sosial
*Wakil Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS)