Channel9.id, Jakarta – Industri tekstil nasional menghadapi tekanan berat akibat masifnya masuk produk impor ilegal, terutama dari China, yang kian menggerus daya saing pabrikan dalam negeri. Kondisi ini memicu penutupan pabrik, pembatalan kontrak, serta hengkangnya calon investor, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan gelombang deindustrialisasi.
Isu ini mencuat setelah Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (APSyFI) menyampaikan kegelisahan mereka dalam audiensi dengan Badan Kebijakan Perdagangan (BK) Kementerian Perdagangan. Kekecewaan semakin dalam menyusul keputusan pemerintah menolak penerapan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk produk polyester oriented yarn (POY) dan draw textured yarn (DTY).
Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil, mengungkapkan bahwa dampak penolakan BMAD terhadap industri sangat serius. Rencana investasi bernilai besar yang sebelumnya siap direalisasikan, kini dibatalkan.
“Investor asing sudah melakukan kunjungan ke pabrik dan menunjukkan komitmen. Namun setelah mendengar BMAD ditolak, mereka mundur. Bagi mereka, tidak ada jaminan iklim usaha yang adil jika produk impor terus masuk tanpa hambatan,” ujar Farhan, Selasa (5/8/2025).
Farhan menambahkan, ada tiga anggota APSyFI yang berencana mengaktifkan kembali kapasitas produksi, serta investasi asing senilai US$250 juta (sekitar Rp4 triliun) yang kini lenyap. Bahkan merek olahraga global yang semula siap memindahkan produksi dari China ke Indonesia, akhirnya membatalkan kerja sama.
“Kontrak sudah diteken, tinggal realisasi. Tapi kalau produk impor dibiarkan masuk lebih murah, buat apa mereka berinvestasi?” tambahnya.
Di lapangan, kondisi semakin memprihatinkan. Beberapa pabrik diam-diam menghentikan produksi akibat tak sanggup bersaing. Data APSyFI menunjukkan impor benang filamen melonjak 70% hingga 300% sejak 2017, tergantung jenis produk.
“Ini bukan tren normal, ini sinyal kalau industri kita runtuh pelan-pelan,” tegas Farhan.
Efek sosial-ekonomi pun tak terelakkan: PHK massal, kredit macet, mesin mangkrak, dan turunnya minat generasi muda untuk bekerja di sektor manufaktur.
“Anak-anak muda melihat masa depan industri ini suram. Mereka tak lagi tertarik bekerja di pabrik,” imbuhnya.
Farhan menilai kondisi saat ini bukan sekadar krisis bisnis, tetapi ancaman serius terhadap kedaulatan industri nasional. Ia juga menyinggung adanya praktik mafia impor dan kebijakan yang tidak berpihak.
“Setiap lima tahun selalu ada siklus kehancuran. Dulu karena krisis, sekarang karena kebijakan. Kami sekarang di titik nadir,” ungkapnya.
Menurutnya, tanpa langkah konkret pemerintah, fenomena tutupnya pabrik dan hengkangnya investor akan menjadi bukti deindustrialisasi.
“Industri ini dibangun puluhan tahun, tidak boleh dihancurkan oleh kebijakan jangka pendek. Ini soal kedaulatan industri nasional, bukan sekadar bisnis,” pungkas Farhan.